JabotabekMetroOpini

Jalan Setapak Advokat

Oleh: Abdullah Fatih

Advokat merupakan salah satu profesi hukum yang banyak digandrungi oleh kalangan mahasiswa dan/atau lulusan Sarjana Hukum (S.H.), sebuah profesi yang menurut banyak orang akan menjadi pintu masuk menuju kesuksesan dan kemewahan hidup. Paling tidak, sedikit dari banyaknya lulusan Sarjana Hukum yang ingin menjadi seorang Advokat dipengaruhi oleh figur Advokat yang dikenali baik secara langsung dalam pergaulan dan hubungan kekerabatan atau malah melalui jejaring media-media sosial lainnya.

Sebagai sebuah profesi hukum, Advokat memegang peran penting dalam pembangunan hukum pada suatu negara tidak terkecuali di Indonesia. Profesi Advokat menjadi salah satu pilar penegakan hukum yang sentral dan strategis bersama dengan Mahkamah Agung (MA), Kejaksaan Agung dan Polisi Negara Indonesia (Polri).
Advokat sebagai penegak hukum tentunya memiliki tanggung jawab untuk turut serta dalam memberikan kontribusi atas pembangunan hukum yang ada, kenyataan tersebut membuat Advokat mendapatkan tanggung jawab etis untuk menyelesaikan permasalahan hukum dan/atau memberikan solusi terhadap suatu permasalahan hukum.

Sekalipun keikutsertaan Advokat dalam pembangunan hukum di Indonsia tidak terikat pada ketentuan normatif, tanggung jawab etis Advokat sebagai pilar utama penegakan hukum di Indonesia menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Antara tanggung jawab etis dan tanggung jawab profesi menjadi satu-kesatuan dan tidak dapat terdikotomi, baik dalam ruang penegakan hukum maupun dalam ruang kesusilaan hukum. Kalau kata para pengamat hukum di warung-warung kopi, peristiwa yang demikian itu ibarat dua sisi mata uang logam yang antara satu sama lain berbeda namun menjadi satu karena keberadaan perbedaan tersebut.

Profesi Advokat juga dikatakan sebagai sebuah profesi yang mulia (Officium Nobile, red), dikarenakan tanggung jawab yang diembannya tidak hanya berdimensi pada kepentingan klien tapi juga pada pembangunan hukum yang ada. Hal ini dikarenakan seorang Advokat sejatinya tidak membenarkan dan/atau menyalahkan suatu peristiwa hukum yang dialami oleh kliennya. Lebih dari itu, seorang Advokat wajib memperjuangkan nilai hukum dan memperjuangkannya agar tidak terjadi perbuatan melanggar hukum terhadap kepentingan hukum klien yang dibelanya.

Kemuliaan profesi Advokat yang membela nilai hukum berdasarkan prinsip etis dan moral yang dia yakini, kerap kali membuat Advokat harus bertentangan dengan kepentingan penguasa. Pertentangan tersebut semakin meruncing ketika Advokat yang membela dengan hati nurani tidak dapat dilobi dengan janji atau diberi kado sebagai hadiah. Maka tak heran jika Otto Weiss menyatakan bahwa Advokat yang baik adalah Advokat yang menggunakan hati nurani.

Hanya saja, profesi mulia dan tanggung jawab yang dimilikinya tersebut tidak serta-merta menjadikan seorang Advokat terbebas dari persangkaan salah dan benar oleh orang-orang. Hal ini wajar, dengan mengingat nilai kebenaran yang ada tidak bersifat absolute dan akibatnya adalah setiap orang berhak atas pendefinisian benar dan salah terhadap suatu perbuatan yang dilakukan orang lain. Tidak jarang didapati suatu kondisi dimana pada saat Advokat membela kepentingan hukum kliennya dikatakan sebagai pembela orang yang salah, atau karena membela seorang pembunuh juga turut dikatakan pembunuh dan/atau peristiwa lainnya yang tidak akan lepas dari penilaian benar salah oleh orang yang menilainya.

Selanjutnya, penilaian benar salah oleh orang-orang terhadap profesi Advokat seperti dikatakan sebelumnya jika penilaian tersebut tidak dapat disalahkan sepenuhnya. Banyak penjelasan dan alasan terkait kondisi yang demikian ini, salah satunya adalah adanya oknum Advokat yang secara etik, moral dan hukum telah melakukan perbuatan yang salah. Mengapa oknum? Karena tidak semua Advokat melakukan kesalahan yang sama dan/atau pelanggaran terhadap etika dan moral pada waktu dan peristiwa khusus.

Dengan adanya perbuatan oknum Advokat yang secara langsung menciderai kemuliaan profesi Advokat, maka alasan mengapa orang-orang menilai buruk pada Advokat menjadi cerminan untuk memperbaiki kualitas dan karakter Advokat.

Melahirkan Advokat yang berkualitas dan berkarakter menjadi tantangan bersama oleh para Advokat, dalam hal ini Advokat-Advokat yang tergabung dalam satu asosiasi dan/atau organisasi yang menjadi wadah berhimpunnya para Advokat. Di Indonesia sendiri, organisasi Advokat melimpah ruah. Banyaknya organsasi Advokat tidak lepas dari adanya dua peristiwa besar yaitu; peristiwa pembentukan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan peristiwa dikeluarkannya Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor: 73/KMA/HK.01/IX/2015 tentang Penyumpahan Advokat.

Kedua peristiwa yang terjadi berimplikasi pada dua kondisi yang saling bertentangan, pada satu sisi menginginkan agar Advokat terhimpun dalam satu wadah tunggal dan sebaliknya pada sisi yang lain membuat Advokat memiliki kehendak bebas untuk mendirikan organisasi Advokat dan sah pengangkatan sumpahnya dilakukan di lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung (MA).

Tidak heran jika koalisi bersama Advokat yang sebelumnya berhimpun pada satu wadah bersama itu akhirnya tercerai-berai, toh memang organisasi Advokat teramat seksi untuk diperebutkan oleh para Advokat. Saking seksinya organisasi ini, para Advokat sampai berlomba-lomba untuk mendapatkan posisi strategis di dalam organisasi dan bukan tidak mungkin mendapatkan tender-tender tertentu dalam proyek hukum di Indonesia.

Permasalahan Advokat dan organisasi Advokat merupakan sebuah jalan setapak yang harus dilalui, baik oleh Advokat maupun juga oleh organisasi Advokat. Jalan setapak yang sejatiya tidak terjal namun bersisian dengan jurang kehancuran, sebuah jalan yang membuat pilihan untuk terus berjalan dengan benar menjadi harga mati pada perjuangan hingga ujung jalan. Memang berat untuk mengatakan jika permasalahan yang ada dapat diselesaikan dengan cepat, namun harapan untuk mengembalikan citra dan muruah Advokat tidak terkecuali organisasi Advokat harus dan dapat dilakukan.

Ketika Advokat dan organisasi Advokat mencapai jalan akhir dari jalan setapak yang dilalui, Advokat dan organisasi Advokat diharapkan menjadi dewasa dalam menyikapi permasalahan yang ada, baik yang ada di internal organisasi sampai dengan permasalahan external antara Advokat dengan kliennya. Para Advokat pasti menginginkan hal-hal baik untuk organisasi, namun hal-hal baik tentu memerlukan proses untuk menggapainya. Tidak mudah? Iya. Banyak rintangannya? Juga iya. Tapi inilah proses dan rintangan yang harus dilalui oleh Advokat dan organisasi Advokat untuk dapat terus menjadi pilar penegakan hukum serta pelayan hukum bagi kelompok rentan yang membutuhkan.

(Penulis merupakan Anggota Divisi Litbang Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) Jakarta Selatan)

Lihat Selengkapnya

Related Articles

Back to top button