Apa sih yang dimaksud dengan sastra perjalanan? sastra perjalanan adalah genre sastra yang termasuk diantaranya; seperti sastra luar ruangan, buku panduan perjalanan, penulisan alam, dan memoar perjalanan. Salah satu penulis memoar perjalanan awal dalam kesusastraan Barat adalah Pausanias, seorang ahli geografi Yunani abad ke-2. Sastra dipahami sebagai olah kreatif pengarang dalam membengkokkan, membelokkan, dan bahkan merusak bahasa. Hal yang disebut terakhir berkaitan dengan prinsip fiksionalitas dan ekstrinsikalitas dalam telaah kesusastraan.
Dalam hal genre sastra, semua jenis karya sastra, baik berupa puisi, drama, maupun prosa, dapat dikategorikan sebagai sastra perjalanan selama memenuhi beberapa indikator. Karya sastra yang memuat latar tempat dan pelaporan peristiwa dalam karya sastra merupakan catatan pengarang dalam bentuk narasi fiksional, yang disebut oleh Carl Thompson sebagai sastra perjalanan (travel writing). Dalam hal genre sastra, semua jenis karya sastra, baik berupa puisi, drama, maupun prosa, dapat dikategorikan sebagai sastra perjalanan selama memenuhi beberapa indikator.
Lalu, ada hubungan apa sastra poskolonialisme dengan sastra perjalanan? Tidak seperti subgenre lain, sastra perjalanan hendak menegaskan narasi objektif dalam eksplorasi pengkaryaan. Selain untuk meyakinkan pembaca, sastra perjalanan ingin menekankan jika acuannya adalah realitas, bukan fiksi atau fabrikasi semata. Karena tendensinya, sastra perjalanan akan mendistorsi dunia dan menjelma ke dalam pandangan pengarang. Oleh sebab itu penggambaran dunia melalui kacamata seorang pelancong cenderung memiliki dua kutub berlawanan, yakni penggambaran objektif dan subjektif sekaligus. Objektivitas tampak dalam penyajian informasi yang dipersepsi oleh inderawi visual dan auditori.
Objektivitas memang menjadi prinsip utama dalam subgenre ini. Sebab, selain hendak meyakinkan sidang pembaca, sastra perjalanan ingin menegaskan jika realitas yang diacunya adalah realitas yang berasal dari lokus serta budaya konkret bukan fiksi atau fabrikasi semata. Hal ini yang lantas membedakan dan menjadi kekhasan sastra perjalanan berbanding subgenre sastra lain, seperti novel sejarah, novel biografi, dan sebagainya.
Dalam wacana postkolonial, catatan perjalanan merupakan bagian integral dari praktik kolonialisme Barat. Travel text sebagai travel experience tak lain merupakan catatan perjalanan yang objektif dan subjektif sekaligus. Jenis teks ini menempatkan dirinya sebagai teks berjarak yang bertendensi mempertahankan keotientikan objek. Selain teks kolonialime objektif tersebut rupanya juga berkembang teks perjalanan subjektif.
Hal ini didasarkan anggapan jika jenis teks terakhir lebih memberikan ruang eksplorasi, membuka kemungkinan, sekaligus keintiman dan sebagainya. Alhasil, teks yang dihasilkan dianggap jauh lebih otientik tinimbang teks objektif yang berjarak. Dari sini travelogues kemudian berkembang menjadi subgenre sastra yang akhirnya dikenal sebagai sastra perjalanan atau travel writing.
Sesuai dengan prinsip karya sastra yang telah diuraikan sebelumnya, yaitu berada di antara fakta dan fiksi, diri melihat liyan dengan dua kacamata. Kedua kacamata tersebut adalah subjektif dan objektif. Hal itu terjadi karena menurut Fussel dalam Holland dan Huggan (2000:9), sastra perjalanan paling baik dilihat sebagai mediasi antara fakta dan fiksi, yaitu merujuk pada orang, tempat, dan peristiwa aktual seperti yang ditemukan pengarang, tetapi pengarang secara bebas dapat menyelinginya dengan cerita yang diragukan kebenarannya. Cerita tersebut dapat berasal dari mitos atau sumber fiksi. Diri dalam perjalanan senantiasa menarasikan perpindahan, yaitu mendetailkan laporan perjalanan pada aktivitas dan lokasi dari perpindahan (Thompson, 2011:75).
Dalam pelaporan perpindahan ini, pengarang tidak berfokus pada diri, tetapi lebih menggambarkan aktivitas dan perpindahan selama perjalanannya. Misalnya, perpindahan dari satu aktivitas dan tempat menuju aktivitas dan tempat yang lain. Dalam hal ini, pengarang berfokus pada sesuatu yang dia lihat dan sesuatu yang dilakukan oleh liyan daripada menuliskan pikiran, impresi, atau kesan yang ditemuinya (Thompson, 2011:107). Perpindahan tersebut menunjukkan adanya globalisasi.
Perjalanan pengarang menuju suatu tempat tujuan biasanya menggambarkan pula secara naratif tempat-tempat persinggahan. Tempat persinggahan tersebut biasanya senantiasa terkait dengan tempat tujuan utamanya. Sehubungan dengan objek penelitian, pengkajian sastra perjalanan baik kontemporer maupun klasik dengan pendekatan Thompson tidak banyak dihasilkan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Ekasiswanto (2017:44) bahwa teori sastra perjalanan belum banyak diaplikasikan daripada kajian poskolonial yang menjadi bagian dari kajian Thompson.
*) Penulis adalah Mahasiswi Universitas Pamulang