ArtikelArtikel/OpiniRagam

Konflik Peran dan Stigma Seorang ‘Janda’

Oleh : Indah Sari Rahmaini *)

BeritaNasional.ID — Seorang janda bisa menjadi miskin bukan hanya karena tidak adanya dukungan ekonomi, namun dukungan sosial juga sangat dibutuhkan, apalagi masyarakat Minangkabau menjunjung tinggi nilai gotong royong dan saling tolong menolong. Kita bisa melihat dari paparan sebelumnya bahwa adanya ketidakpastian dukungan ekonomi melalui adat yang dialami oleh perempuan. Sementara itu, dukungan sosial sebagai faktor yang tidak kalah penting juga cenderung dipertanyakan. Masyarakat Minangkabau adalah masyarakat yang dualitas. Hal ini tercermin dari terjadinya ambigu pada zaman dahulu, yakninya pandangan pemakaian demokrasi dan aristokarsi dalam menjalankan roda pemerintahan (Arifin, 2009). Konsep inilah yang juga mempengaruhi stigma seorang janda di Minangkabau. Janda merupakan seorang perempuan Minangkabau sekaligus sebagai bundo kanduang yang mewariskan garis keturunan. Akan tetapi, tanpa keberadaan suami, janda dianggap tidak memenuhi syarat untuk menerima semua hak-haknya sebagai perempuan Minangkabau yaitu kewenangan untuk memberikan suara dalam kaumnya. Hal ini karena masyarakat Minangkabau menjadikan agama dan adat sebagai sendi kehidupannya. Masyarakat Minangkabau menjadikan agama dan adat sebagai landasan utama dalam kehidupan sosial. Secara adat, perempuan yang tidak memiliki suami tidak dipersoalkan karena ia yang memegang otoritas dalam keluarga. Sebaliknya, dari pandangan agama Islam, laki-laki dianggap sebagai pelindung dan pelengkap kehidupan perempuan. Akibatnya adalah menjadi janda juga dianggap sebagai hal yang tercela karena tidak memenuhi kewajiban dalam beragama.

Dalam realitas kehidupan masyarakat modern, menjadi janda atau memilih untuk menikah kembali adalah sebuah pilihan yang tetap menciptakan ketidakpastian. Harapan-harapan untuk sejahtera dan bahagia seakan menjadi sebuah utopia perempuan. Ketiadaan harapan itu setelah mengalami kegagalan karena tidak dirasakan sebuah keadilan dan kemakmuran membuat perempuan merasa nihil harapan itu menjadi nyata jika harus menikah lagi. Resiko baru juga akan tetap datang. Pilihan untuk tetap menjadi janda juga bukan merupakan sebuah jaminan. Beck (1992) juga memaparkan bahwa perempuan mengalami silent oppsition dalam kehidupannya termasuk pasca perceraian. Perempuan yang telah menjanda biasanya membawa anak ikut dalam kehidupannya, karena di Minangkabau anak lebih cenderung ikut ibu daripada ayah. Dibawanya anak dalam kehidupan janda membuat beban ekonominya menjadi lebih tinggi. Tidak hanya stigma buruh atau baik yang akan ia hadapi, namun konflik peran juga akan dialaminya apakah ia harus mencari nafkah atau mengurus anak.

Selain dilema harta warisan dan tanah ulayat, penyebab miskinnya janda di Minangkabau juga disebabkan oleh konflik peran yang dialaminya. Konflik peran merupakan sebuah situasi dimana individu dihadapkan pada harapan peran (role expectation) yang berbeda (Beutell, 1985). Greenhaus dan Beutell mengidentifikasikan tiga jenis konflik pekerjaan-keluarga, yaitu: 1) Time-based conflict. Waktu yang dibutuhkan untuk menjalankan salah satu tuntutan (keluarga atau pekerjaan) dapat mengurangi waktu untuk menjalankan tuntutan yang lainnya (pekerjaan atau keluarga), 2) Strain-based conflict. Terjadi pada saat tekanan dari salah satu peran mempengaruhi kinerja peran yang lainnya. 3) Behavior-based conflict. Berhubungan dengan ketidaksesuaian antara pola perilaku dengan yang diinginkan oleh kedua bagian (pekerjaan atau keluarga).

Di satu sisi, janda dituntut untuk mengurus anak dengan baik. Anak harus diperhatikan perkembangannya secara intensif dengan tetap berada dirumah. Hadirnya perempuan pada sektor publik membuat fungsi-fungsi yang seharusnya diberikan oleh orangtua kepada anak menjadi tidak maksimal. Apalagi jika anak masih berada pada tahap perkembangan. Anak yang berada pada usia balita, membutuhkan nutrisi dan gizi yang cukup. Ia harus diberi ASI, diperhatikan keseimbangan gizinya, lalu dirawat secara intensif. Namun, biaya dari perawatan dan pemenuhan kebutuhan gizinya secara otomatis membuat perempuan harus mencari penghasilan. Jika janda memiliki jaminan pensiun kematian suami, mungkin ini tidak masalah. Jika yang terjadi adalah cerai hidup dan laki-laki tidak meninggalkan harta untuk pemenuhan kebutuhan anak, janda harus dihadapkan dengan situasi kemiskinan. Jika perempuan tetap berada dirumah, ia tidak akan bisa ‘memberi makan’ anaknya. Tidak ada jaminan hidup yang dimiliki lagi oleh seorang janda jika harta pusaka saja masih menjadi dilematis, itu menjadi hak sepenuhnya atau tidak.

Jika janda memilih untuk bekerja, waktu yang disediakan untuk anak dalam hal perawatan menjadi berkurang. Bekerja membutuhkan pengorbanan waktu yang tidak bisa tersedianya ruang kepada janda untuk mengurus anaknya. Tekanan yang dihadapi atas konflik peran yang dialami juga akan membuatnya tidak maksimal dalam bekerja. Sedangkan pekerjaan membutuhkan konsentrasi dan fokus. Janda yang awalnya hanya menjadi ibu rumah tangga lalu masuk kedalam sektor pekerjaan, biasanya ia hanya dapat bekerja pada sektor informal. Pada sektor informal, upaha yang ia dapatkan berbanding lurus dengan hasil pekerjaan yang dilakukan. Atau jika tidak, dibutuhkan tenaga yang membuat perempuan harus tetap memiliki fisik yang sehat. Tidak ada pekerjaan informal yang memiliki jaminan kesehatan atau jaminan sosial. Jikalau ada, itu tidak banyak. Selain persoalan waktu, tekanan yang dihadapi perempuan juga berbeda-beda. Jika janda masih dirangkul oleh extended family, tanggung jawab dalam membesarkan anak bisa dibantu oleh orangtua ataupun saudara yang tinggal satu atap dengannya. Namun tidak lepas dari itu, stigma seorang ‘menelantarkan anak’ dalam interaksi bermasyarakat juga akan didapat. Tekanan-tekanan yang terus muncul merupakan sebuah kenyataan yang harus dihadapi oleh janda.

Oleh karena itu, berdasarkan pemaparan diatas terlihat bahwa pilihan-pilihan yang harus dihadapi oleh perempuan menurut Beck tidak menghilangkan resiko, namun malah akan memunculkan resiko baru pada setiap pilihan, karena perempuan juga dalam kehidupannya terus menerus memproduksi risiko (Beck, 1992). Diskusi mengenai kesenjangan dan antagonsime gender merupakan sebuah everlasting discussion dalam perdebatannya pada konteks masyarakat risiko. Terjadinya detradisionalisasi dalam masyarakat era modernitas lanjut menyebabkan pandangan feudal masih ada walau peradaban sudah memaksa kita untuk berpikiran modern. Pada akhirnya yang terjadi pada era modernitas lanjut adalah tidak ada ciri khas feudal saja atau modern saja, namun menjadi setengah feudal dan setengah modern. (Ay/BERNAS)

*) Biodata Penulis :
Nama : Indah Sari Rahmaini
Profesi : Dosen Sosiologi Universitas Andalas
E-mail : indah.rahmaini96@gmail.com

Lihat Selengkapnya

Related Articles

Back to top button