Artikel/OpiniPendidikanRagam

Metodologi Abduksi dalam Metode Penelitian Kualitatif

Oleh : Indah Sari Rahmaini *)

BeritaNasional.ID — Metodologi abduksi adalah penjelasan yang digunakan oleh paradigma kritik dalam mengkonstruksi realitas. Filsuf Amerika Charles S. Peirce (1839-1914) mengambangkan abduktiv dengan memperluas bentuk lain dari pemikiran. Alih-alih memulai dengan banyak pengamatan atau dengan premis teoritis, abduktiv mencoba memainkan peran penting dan nmenanyakan peran apa seperti apa yang juga menyertai. Gagasan dan observasi kemudian di ujikan, lalu melihat kemungkinan yang akan terjadi. Peneliti yang menggunakan abduktiv mengaplikasikan dan mengevaluasi kerangka kerja secara berurutan serta melakukan rekontekstualisasi dan redeskripsi antara data dan ide dalam prosesnya (Neuman, 2014). Abduktiv jarang memproduksi satu defenisi kebenaran. Sebaliknya, ia mencoba untuk membuat pemahaman mendalam. Abduktiv mirip dengan bagaimana seorang detektiv yang berwawasan luas dan kreatif dalam memecahkan kejahatan dengan mengambil data sebagai petunjuk yang memungkinkan untuk mengetahui faktor penyebab kejahatan.

Kritik eksplanatory dimulai dengan premis bahwa ketika kita mempelajari kehidupan sosial, kiat mempelajari kedua hal itu sendiri dan bagaimana orang berpikir tentang atau memahami “hal” yang sedang kita pelajari. Kondisi aktual dan keyakinan orang tentang kondisi keduanya relevan. Kritik eksplanatory memiliki implikasi praktis, moral, dan politis karena dapat berbeda dari kepercayaan yang berlaku. Penjelasan secara bersamaan menjelaskan kondisi (atau memberi tahu mengapa peristiwa terjadi) dan kritik kondisi (atau menunjukkan perbedaan, mengungkapkan mitos, atau mengidentifikasi kontradiksi).

Menurut Neuman, Critical Social Science merupakan alternative ketiga dalam paradigm metodologi penelitian. paradigm ni memiliki banyak penyebutan nama lain, diantaranya adalah dialektikal materialisme, analisis kelas, dan strukturalisme. Teori kritis berupaya memadukan antara metodologi nomotetik (etik) yang serba menggeneralisasi dan idiografik (berbasis kasus/ hal yang bersifat khusus). Pendekatan teori kritis dikembangkan oleh Karl Marx dan Sigmeun Freud yang kemudian dielaborasi lebih lanjut oleh Theodore Ardono, Erich Fromm, dan Herbert Marcuse. Paradigma ini meliputi teori konflik, analisis feminis, dan psikoterapi radikal dengan teori kritis yang terlebih dahulu dikembangkan oleh Frankfurt School di Jerman tahun 1930-an.

Ilmu sosial kritis mengkritik ilmu positivis sebagai ilmu yang sempit, antidemokratis, dan nonhumanis dalam penggunaan akal. Ini diuraikan dalam esai Adorno “Sociology and Empirical Research” dan “The Logic of the Social Science”. Pengikut Frankfurt School yang terkenal, Jurgen Habermas pakar dalam teori kritis pada esainya yakni “Knowledge and Human Interests” (1971), pada bidang pendidikan yaitu Paulo Freire dengan “Pedagogy of the Oppressed” juga menggunakan paradigm kritis.

Contoh lain adalah Sosiolog Perancis Pierre Bourdieu dengan esainya seperti “Outline of A Theory of Practice (1977). Bourdieu menolak baik pendekatan empiris kuantitatif, obyektif positivistic, maupun pendekatan voluntarisme. Ia menegaskan bahwa penelitian sosial harus bersifat refleksif dan tentu politis. Dia juga berpendapat bahwa tujuan pencarian kembali adalah untuk mengungkap dan mengaburkan realitas. Paradigma intrepretatif mengkritik positivis karena gagal berurusan dengan makna inidividu yang nyata dan kapasitas mereka untuk merasa dan berpikir, mengabaikan konteks sosial, dan untuk menjadi antihumanis. Paradigma kritik setuju dengan sebagian kritiknya dan percaya bahwa positivistic membela status quo. Namun, paradigma kritik mengkritik interpretatif karena terlalu subyektif dan relativis, memperlakukan ide orang sebagai hal yang lebih penting dari kondisi aktual (misalnya kemiskinan nyata, penindasan, kekerasan). Paradigma kritik juga mengatakan bahwa interpretative juga berfokjus banyak pada pengaturan lokal, level mikro dan sementara mengabaikan struktur yang lebih kuas dan jangka panjang

Metodologi abduktiv mendefinisikan ilmu sosial sebagai proses kritik yang mengungkap “the real structure” dibalik ilusi dan kebutuhan palsu yang ditampakkan dunia materi guna mengembangkan kesadaran sosial untuk memperbaiki kondisi kehidupan subyek penelitian. Secara ontologis, paradigma ini didasarkan pada realisme historis, suatu realitas yang tidak dapat dilihat secara benar oleh pengamatan manusia. Berawal dari masalah tersebut, pada tataran metodologis, pendekatan ini mengajukan metode dialogis sebagai uoaya perubahan bagi kebenaran realitas yang sebenarnya. Pada tataran epistemologis, pendekatan kritis memandang hubungan antara peneliti dan obyek sebagai hal yang terpisahkan. Pendekatan ini juga memiliki keyakinan bahwa nilai yang dipakai oleh peneliti turut menentukan kebenaran suatu hal sehingga aliran ini sangat menekankan konsep subyektivitas dalam menemukan suatu ilmu pengetahuan (Abadi, 2011). (Ay/BERNAS)

*) Biodata Penulis :
Nama : Indah Sari Rahmaini
Profesi : Dosen Sosiologi Universitas Andalas
E-mail : indah.rahmaini96@gmail.com

Lihat Selengkapnya

Related Articles

Back to top button