tasikmalaya

Pemkab Tasikmalaya Tersandung di Akhir Tahun, Serapan Anggaran Mandek, 621 Miliar Mengendap, Infrastruktur Terbengkalai, Pendidikan dan Kesehatan Tersendat

Beritanasional.id – Tasikmalaya, Jawa Barat,- Menjelang tutup tahun anggaran 2025, Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya kembali dihadapkan pada persoalan serius. Laporan Badan Pengelolaan Keuangan dan Pendapatan Daerah (BPKPD) mencatat hingga 12 Desember, realisasi belanja daerah baru menyentuh 82,2 persen dari total pagu Rp3,49 triliun. Artinya, masih ada Rp621,29 miliar yang belum terserap.
Kesenjangan ini bukan sekadar soal teknis administrasi, melainkan cermin dari lemahnya manajemen pemerintahan. Ironisnya, dana besar yang mengendap terjadi di tengah pelayanan publik yang masih jauh dari memadai. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mendasar: untuk siapa sebenarnya anggaran daerah disusun, jika pada akhirnya masyarakat tetap tidak merasakan manfaatnya?

SKPD Tertinggal, Infrastruktur Jadi Sorotan

Dinas Pekerjaan Umum, Tata Ruang, dan Lingkungan Hidup (DPUTRLH) menjadi sorotan paling tajam. Dengan serapan hanya 47 persen, dinas yang memegang mandat pembangunan infrastruktur dan lingkungan justru mencatat kinerja terburuk. Padahal, sektor ini krusial bagi pembangunan jangka panjang, mulai dari perbaikan jalan hingga pengelolaan lingkungan.

Sektor pendidikan pun tak luput dari masalah. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan yang mengelola anggaran jumbo Rp1,32 triliun masih menyisakan lebih dari Rp242 miliar. Angka ini menimbulkan ironi, mengingat kualitas pendidikan di daerah masih menghadapi tantangan serius, mulai dari keterbatasan fasilitas hingga ketimpangan mutu antar sekolah.

Sementara itu, Dinas Kesehatan baru merealisasikan 78,4 persen, menandakan layanan dasar ikut tersendat. Di tengah kebutuhan masyarakat akan layanan kesehatan yang memadai, angka serapan ini menunjukkan adanya hambatan serius dalam eksekusi program.

Politik dan Birokrasi: Akar Masalah

Anggota Komisi I DPRD Kabupaten Tasikmalaya, Asep Muslim, menilai rendahnya serapan anggaran merupakan akumulasi dari buruknya perencanaan, kebijakan yang keliru, hingga konflik politik pasca Pilkada.

Ia menyoroti kebijakan cut off kewenangan bupati dalam APBD murni 2025 serta penyusunan APBD Perubahan yang dinilai tidak matang. “Ketika APBD perubahan disusun tanpa kesiapan teknis, wajar jika realisasi mandek,” ujarnya.

Namun, menurut Asep, akar persoalan paling krusial justru berada di ranah politik dan birokrasi. Konsolidasi pasca Pilkada disebut tidak pernah tuntas. Hubungan yang tidak harmonis antara Bupati dan Sekda dinilai menciptakan ketidakstabilan internal yang berimbas langsung pada jalannya pemerintahan.

“Rotasi-mutasi pejabat yang tidak jelas arah dan visinya membuat birokrasi kacau. Dua SKPD strategis—Disdik dan PUPR—bahkan dibiarkan tanpa kepala dinas definitif,” tegasnya.

Mutasi Politik, Anggaran Tersandera

Asep menekankan bahwa mutasi pejabat yang sarat kepentingan politik berdampak langsung pada kualitas pengelolaan anggaran. “Jika rotasi jabatan didorong balas jasa politik, pejabat yang muncul bukan yang kompeten. Ini berpengaruh langsung pada pelaksanaan program dan serapan anggaran,” katanya.

Fenomena ini memperlihatkan bagaimana politik praktis dapat menyandera birokrasi. Alih-alih menempatkan orang yang berkompeten, jabatan strategis justru dijadikan alat transaksi politik. Dampaknya jelas: program pembangunan tersendat, anggaran mengendap, dan masyarakat kembali menjadi korban.

Alarm Keras untuk Pemerintahan Daerah

Kondisi ini, menurut Asep, adalah alarm keras bagi Pemkab Tasikmalaya. Tanpa pembenahan struktural dan politik, persoalan serapan anggaran diprediksi akan terus berulang dari tahun ke tahun.

“Anggaran besar tidak ada artinya jika tidak mampu dieksekusi. Ini bukan soal angka, tapi soal kegagalan menghadirkan manfaat bagi masyarakat,” pungkasnya.

Kasus Tasikmalaya menegaskan bahwa problem serapan anggaran bukan sekadar angka dalam laporan keuangan. Ia adalah refleksi dari tata kelola pemerintahan yang rapuh, birokrasi yang tidak solid, dan politik yang terlalu dominan. Jika pola ini terus berulang, maka anggaran daerah hanya akan menjadi simbol tanpa substansi sekadar angka besar yang gagal menjawab kebutuhan rakyat.

Laporan: Chandra F Simatupang

Lihat Selengkapnya

Related Articles

Back to top button