Nasional

Anang Iskandar: Tafsir UU Narkotika, Tidak Bisa Gunakan Tafsir Hukum Pidana

Jenderal Polisi purnawirawan bintang tiga ini masih menunggu, siapa dibalik rekening jumbo terkait narkoba. Jumlahnya pun tak main-main, Rp 120 triliunan rupiah.

Bagaimana tidak, jenderal bintang tiga ini menulis “Catatan Tengah” dan terus menyemangati BNN serta Polri, tempat dirinya bernaung dan mengabdi dulu. Catatan Pinggir Anang Iskandar Membuat Banyak Orang Terkesiap.

Kini, mantan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Bareskrim Polri ini kembali menulis  dan meliterasi, pecandu narkoba sebaiknya direhabilitasi, mengundang perhatian banyak pihak juga, karena esensinya. Anang menulis UU No 35 tahun 2009 tentang narkotika secara khusus mengintegrasikan pendekatan hukum kesehatan, hukum pidana, hukum bisnis dan hukum internasional. Itu sebabnya penafsiran UU narkotika, menjadi sangat penting, agar tujuan UU tercapai, dan rasa keadilan terwujud, serta bermanfaat bagi masarakat, bangsa dan negara.

Anda menulis, penafsiran UU narkotika?

Ya, menggunakan hukum pidana oleh penegak hukum baik penyidik, penuntut umum dan hakim akan menuai salah kaprah. Yang menyebabkan indonesia tanpa disadari memasuki darurat narkotika sejak dasawarsa yang lalu. Secara pidana penyalahguna narkotika bagi diri sendiri (pasal 127/1) memang diancam dengan ancaman pidana maksimal, sedangkan yang diancam pidana minimum hanya pengedar.

Bagaimana jika hukum internasional?

Proses penegakan hukum terhadap penyalahguna dilaksanakan secara restorative justice (RJ) (127/2) dengan bentuk hukuman alternatif berupa rehabilitasi (pasal 103/2). Penanggulangannya menggunakan balance approach (hukum bisnis), yaitu menanggulangi penyalahgunaan narkotika dengan pendekatan alternatif.

Berupa rehabilitasi?

Benar, berupa rehabiltasi, sedangkan dalam menanggulang peredaran gelap narkotika menggunakan pendekatan pemidanaan. Itu sebabnya tujuan dibuatnya UU No 35 tahun 2009 tentang narkotika oleh pembuatnya (Pemerintah dan DPR) dinyatakan secara jelas dalam pasal 4 (c dan d).

Apa tujuannya?

Memberantas peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika (hukum pidana). Juga menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalah guna dan pecandu (hukum kesehatan). Dalam praktik penegakan hukum terhadap penyalahguna narkotika bagi diri sendiri, selama tidak berorientasi pada tujuan tersebut diatas, penyalahguna diperlakukan berdasarkan hukum pidana.

Maksudnya?

Diproses berdasarkan hukum acara pidana dan dijatuhi hukuman secara pidana sehingga tidak mencapai tujuan. Akibatnya terjadi praktek penyidikan dan penuntutan terhadap perkara narkotika dilakukan mutlak secara pidana.

Proses penyidikan dan penuntutan perkara narkotika menghasilkan apa?

Salah kaprah dalam proses penegakan hukum dan penjatuhan hukumannya. Dampaknya terjadi anomali lapas yang diikuti dengan berbagai masalah.

Jelaskan dong, lebih detilnya seperti apa?

Berhubungan dengan peredaran gelap narkotika dalam lapas, yang berakibat terjadi ketidakberdayaan aparat. Dalam menanggulangi penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika baik dalam maupun diluar Lapas. Yang akhirnya, negara menghasilkan generasi sakit adiksi dan gangguan mental secara berkesinambungan yang sangat merugikan. Anomali lapas terjadi dalam kurun waktu lebih dari satu dasawarsa.

Benarkah, anomali Lapas tersebut menunjukan kalau penegak hukum menggunakan tafsir hukum pidana saja?

Ya, benar sekali. Tanpa mengindahkan hukum kesehatan mengenai wajib lapor pecandu, hukum bisnis mengenai demant dan suppy-nya dan hukum internasionalnya mengenai restorative justice dengan hukuman alternatif bagi penyalahguna berupa rehabilitasi.

Bagaimana jika penegak hukumnya males mikir?

Penegak hukum tidak boleh males mikir dan pilih gampangnya, dalam proses penegakan hukum narkotika. Catat ya, penyalahguna adalah, penderita sakit adiksi dan gangguan mental, yang dalam proses penegakan hukumnya wajib diperlakukan secara restorative justice, dengan upaya paksa berupa rehabilitasi dan bentuk hukuman berupa rehabilitasi.

Bukankah penyalahguna kerap diancam hukuman penjara, bukan rehabilitasi?

Benar, penyalahguna kerap dianggap sebagai seorang penjahat yang diancam dengan hukuman penjara. Termasuk bila penyalahguna dengan kepemilikan narkotika dengan jumlah terbatas untuk dikonsumsi atau digunakan bagi diri sendiri.

Diancam pidana?

Karena  secara tidak sah dan melanggar hukum, kemudian dalam proses penegakan hukumnya dijatuhi hukuman penjara, dapat dipastikan bahwa penafsiran oleh penegak hukum tersebut adalah salah kaprah dan salah tujuan. Karena proses penyidikan, penuntutan dan pengadilan tindak pidana penyalahgunaan narkotika berdasarkan UU narkotika, menggunakan pendekatan restorative justice dan bentuk hukumannya menggunakan hukuman rehabilitasi.

Hal ini bukannya sudah anda tulis dan ingatkan di media berkali-kali?

Benar. Penyidik, jaksa penuntut umum dan hakim diberikan kewenangan merestoratif dalam proses penegakan hukum terhadap penyalahguna narkotika (pasal 13 PP no 25 tahun 2011 tentang wajib lapor).

Berupa apa?

Kewenangan “menempatkan penyalahguna ke dalam rumah sakit atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk”. Khusus hakim diberi “kewajiban” UU untuk memperhatikan proses pengadilan perkara narkotika yang tujuan kepemilikannya untuk dikonsumsi, dengan indikator jumlah kepemilikannya terbatas.

Dengan aturan apa, yang kuat?

Di bawah SEMA no 4 tahun 2010. Diatur mengenai apakah terdakwa yang sedang diadili kondisinya dalam keadaan ketergantungan yang disebut pecandu, yang berdasarkan hasil assesmen atau visum (pasal 54).

Apakah penyalahguna telah melakukan kewajiban hukum?

Ya, berupa wajib lapor pecandu, karena penyalahguna yang telah melakukan wajib lapor pecandu, status pidananya menjadi tidak dituntut pidana (pasal 55 yo 128/2). Serta kewajiban memperhatikan penggunaan kewenangan hakim “dapat” memutuskan atau menetapkan terdakwa menjalani rehabilitasi secara wajib (pasal 103). Dalam hal penggunaan kewenangan hakim tersebut, kalau perkaranya terbukti sebagai penyalahguna bagi diri sendiri dan dalam keadaan ketergantungan (pecandu).

Berdasarkan apa?

Berdasarkan hasil assesmen atau visum, maka hakim “dapat” memutuskan terdakwa menjalani rehabilitasi sifatnya wajib, hakim tidak punya pilihan, kecuali bila penyalahguna terbukti merangkap sebagai pengedar. Perkara pecandu = perkara penyalah guna + hasil assesmen.

Selama ini saya banyak mendapatkan pertanyaan baik dari masarakat dan akademisi maupun penegak hukum tentang kerancuan dalam membedakan penyalahguna dan pecandu narkotika.  Perkara penyalahguna adalah perkara tindak pidana kepemilikan narkotika bagi diri sendiri secara tanpa hak dan melanggar hukum dengan indikator jumlah kepemilikan diatur berdasarkan, SEMA no 4 tahun 2010 tentang penempatan korban penyalahgunaan narkotika, penyalah guna dan pecandu.

Perkara tersebut berdasarkan peraturan yang berlaku, dilakukan assesmen agar diketahui kondisi penyalahguna dan taraf ketergantungannya. Perkara pecandu adalah perkara penyalahgunaan narkotika yang tujuan kepemilikan untuk digunakan bagi diri sendiri dengan jumlah kepemilikan secara terbatas dan kondisi dalam keadaan ketergantungan narkotika berdasarkan hasil visum atau assesmen terpadu.

Terhadap perkara tersebut, bagaimana?

UU narkotika memberi kewenangan kepada penyidik untuk meminta keterangan ahli melalui hasil visum et repertum atau assesmen terpadu. Agar diketahui peran penyalahguna sebagai korban penyalahgunaan narkotika atau pecandu atau pecandu merangkap pengedar.

Kalau perkara narkotika terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkotika, bagaimana?

Maka hakim dapat menetapkan yang bersangkutan menjalani rehabilitasi di rumah sakit atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk pemerintah.

Bagaimana urusan biaya?

Biayanya ditanggung oleh anggaran kemenkes dalam hal direhabilitasi dirumah sakit yang ditunjuk dan dalam hal rehabilitasi dilaksanakan di lembaga rehabilitasi dilingkungan BNN biayanya ditanggung oleh anggaran BNN. Sedangkan kalau terbukti sebagai pecandu, maka hakim dapat memutuskan yang bersangkutan untuk menjalani rehabilitasi dirumah sakit atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk pemerintah dan biayanya ditanggung pemerintah yang dianggarkan melalui kemenkes dan BNN.

Dan bila terbukti sebagai pecandu merangkap pengedar, maka hakim dapat menjatuhkan hukuman penjara dan hukuman menjalani rehabilitasi. Perkara kepemilikan narkotika untuk diri sendiri adalah perkara kejahatan yang selama ini mendominasi proses peradilan di Indonesia, baik ditingkat penyidikan, penuntutan dan pengadilan. Perkara ini pula yang menyebabkan terjadinya anomali lapas.

Selama ini perkara kepemilikan narkotika bagaimana?

Untuk diri sendiri pada tingkat penyidikan dan penuntutan “tidak” dilakukan assesmen untuk mengetahui peran penyalahguna, sebagai korban penyalahgunaan narkotika atau sebagai pecandu atau pecandu merangkap pengedar. Dalam proses penegakan hukumnya juga tidak dilakukan secara restorative, tetapi dilakukan secara represif seperti pengedar dilakukan penahanan dan dituntut sebagai pengedar dengan ancaman pidana minimum.

Pada tingkat pengadilannya, hakim tidak memperhatikan jumlah barang bukti (SEMA no 4 tahun 2010). Tujuan kepemilikannya untuk apa (pasal 127/1) dan hakim juga tidak memperhatikan kewajiban UU untuk memperhatikan kondisi taraf ketergantungan (pasal 127 yo pasal 54).

Untuk status hukum penyalah guna (pasal 55 yo pasal 128/2), bagaimana?

Kewenangan hakim dapat memutuskan atau menetapkan terdakwa menjalani rehabilitasi (pasal 103/1) serta bentuk hukumannya berupa rehabilitasi (pasal 103/2), Wajib ditafsirkan ulang. Mahkamah secara kelembagaan memiliki otoritas untuk mengawasi hakim, mestinya melakukan pengawasan terhadap hakim dalam proses pengadilan perkara kepemilikan untuk diri sendiri, dengan jumlah kepemilikan terbatas dibawah SE MA no 4 tahun 2010 dan terhadap bentuk hukumannya.

Dengan hakim menghukum penjara terhadap pelaku kejahatan narkotika yang terbukti secara sah dan meyakinkan sebagai penyalahguna untuk diri sendiri, tanpa mengetahui taraf ketergantungan terdakwanya maka proses pengadilannya menjadi “tidak”. Berdasarkan UU narkotika khususnya tentang kewajiban hakim untuk memperhatikan pasal 54, 55 dan 103 dan tujuan UU narkotika yaitu mencegah, melindungi dan menyelamatkan dan menjamin penyalahguna mendapatkan upaya rehabilitasi.

Implementasi proses pengadilan berdasarkan hukum pidana dan dijatuhi hukuman pidana, wajib ditafsirkan ulang oleh Mahkamah agung agar tujuan UU narkotika terwujud. Dampak dari keputusan hakim dalam menafsirkan proses pengadilan dan menjatuhkan hukuman penjara bagi penyalahguna untuk diri sendiri. Menyebabkan penyidik dan penuntut umum mendapat “bolo” dalam dalam menafsirkan UU narkotika dan “bersemangat” dalam menangkap dan menuntut penyalahguna ke pengadilan karena “dianggap” sebagai prestasi.

Padahal UU narkotika mewajibkan penyalahguna narkotika, yang berpotensi sebagai sakit adiksi dan gangguan mental untuk melakukan “wajib lapor pecandu”. Agar sembuh dan tidak mengulangi perbuatannya sebagai solusi utama tanpa penegakan hukum (prevention without punishment), meskipun penyalahguna adalah criminal.

Hukum narkotika tidak menggunakan instrumen penahanan terhadap penyalahguna narkotika meskipun diancam dengan pidana penjara, tetapi menggunakan instrumen penempatan ke dalam lembaga rehabilitasi. Demikian juga bentuk hukuman yang dijatuhkan hakim juga tidak menggunakan hukuman pidana, tetapi menggunakan hukuman rehabilitasi.

Eksekusi lanjut gimana?

Keputusan atau penetapan hakim dilaksanakan di Rumah Sakit atau Lembaga Rehabilitasi yang ditugasi pemerintah, bukan di Lapas. Membawa penyalahguna ke pengadilan dan dihukum menjalani rehabilitasi sesungguhnya adalah langkah “logis” secara Criminal Justice System tetapi “merugikan” keuangan negara berupa biaya penegakan hukum. UU narkotika mewajibkan penyalahguna melakukan “wajib lapor pecandu” sebagai prevention without punishment, tanpa dilakukan penegakan hukum.

Kecuali penyalahguna merangkap sebagai pengedar atau penyalahguna menjadi anggota sindikat narkotika dalam rangka mengungkap pelaku peredaran gelap narkotika. Penyalahguna dijatuhi hukuman penjara, tidak ada manfaatnya justru membahayakan serta merugikan banyak fihak. Kerugian tidak hanya berupa keuangan negara tetapi juga terjadi anomali lapas yang ditandai dengan over kapasitas secara berkelanjutan, dan terjadi penyalahgunaan.

Peredaran gelap narkotika dalam lapas?

Iya, terjadi residivisme penyalahgunaan narkotika dimana penyalahguna masuk masuk penjara hingga 3 atau 4 kali, serta terkendalanya pembangunan kesehatan dan kesejahteraan masarakat. Padahal Mahkamah Agung telah mengeluarkan SEMA no 4 tahun 2010 tentang penempatan korban penyalahgunaan narkotika, penyalahguna dan pecandu dan disusul dengan Surat Keputusam Dirjend Badilum Mahkamah Agung no 1691/DJU/ SK/PS.00/12/2020.

Tentang apa lagi?

Pemberlakuan pedoman penerapan keadilan restoratif (restorative justice) bahwa proses {Pengadilan perkara penyalahgunaan narkotika dilakukan secara restorative justice sehingga hakim dapat menjatuhkan hukuman rehabilitasi baik terbukti maupun tidak terbukti melakukan tindak pidana narkotika (pasal 103). UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika beserta PP 25 tahun 2010 tentang wajib lapor pecandu dan kedua produk hukum Mahkamah Agung tersebut diatas wajib digunakan oleh Ketuan Mahkamah Agung dan para Hakim Agung Kamar PIdana.

Untuk mengoreksi penegakan hukum?

Ya, terhadap perkara narkotika yang terbukti sebagai penyalahguna bagi diri sendiri yang selama ini dijatuhi hukuman penjara.

Pesan anda apa?

Kalau tidak digunakan, untuk apa produk hukum narkotika tersebut dibuat. Salam anti penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Rehabilitasi penyalahgunanya dan penjarakan pengedarnya !

Lihat Selengkapnya

Related Articles

Back to top button