Digitalisasi Keuangan Syariah dan Masa Depan Layanan Haji dan Umrah

Beritanasional.id — Indonesia dikenal sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia. Setiap tahun, jutaan umat Islam berangkat menunaikan ibadah Umrah, dan ratusan ribu lainnya menunggu giliran untuk berangkat Haji. Dalam proses panjang yang melibatkan dana miliaran rupiah serta pengelolaan logistik dan spiritual, biro perjalanan Haji dan Umrah memainkan peran yang sangat penting. Namun, di era digital ini, cara mereka mengelola dana jamaah dan menjalankan operasional masih menghadapi tantangan besar.
Antara Amanah dan Efisiensi
Sebagai penyelenggara ibadah yang sarat nilai spiritual, biro perjalanan Haji dan Umrah memikul tanggung jawab moral untuk mengelola dana jamaah secara aman, transparan, dan sesuai prinsip syariah. Di sisi lain, tuntutan zaman menuntut mereka beradaptasi dengan transformasi digital keuangan yang kian cepat. Perkembangan layanan keuangan digital syariah—mulai dari mobile Islamic banking, dompet elektronik halal, fintech zakat dan wakaf digital, hingga crowdfunding syariah—menawarkan berbagai solusi modern bagi biro perjalanan untuk meningkatkan efisiensi dan akuntabilitas.
Sayangnya, adopsi layanan keuangan digital berbasis syariah (LKDS) di sektor ini belum merata. Banyak biro masih mengandalkan sistem konvensional karena keterbatasan literasi digital, kesiapan teknologi internal yang minim, dan belum adanya pedoman regulasi yang seragam. Padahal, digitalisasi bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan strategis untuk menjaga kepercayaan jamaah sekaligus memperkuat daya saing lembaga.
Keuangan Syariah: Bukan Sekadar Label, Tetapi Prinsip
Kehadiran layanan keuangan digital syariah seharusnya tidak dipandang sekadar sebagai “alternatif halal”, tetapi sebagai bagian dari ekosistem etika dan keberlanjutan.
 Transaksi berbasis prinsip syariah tidak hanya menolak riba, maisir, dan gharar, tetapi juga menuntut kejujuran, transparansi, dan keadilan.  Nilai-nilai inilah yang justru menjadi kekuatan utama dalam membangun kepercayaan publik di tengah maraknya isu keamanan data dan kebocoran informasi di era digital. Penting bagi biro perjalanan untuk menyadari bahwa memilih layanan keuangan syariah berarti berkomitmen pada pengelolaan dana jamaah yang berintegritas. Sistem digital yang sesuai syariah tidak hanya mempercepat transaksi, tetapi juga memudahkan pelacakan, pelaporan, dan audit, sehingga risiko penyalahgunaan dana dapat diminimalkan.
Kesenjangan Literasi dan Kesiapan Adopsi
Meskipun banyak inovasi keuangan syariah telah tersedia, kesiapan biro perjalanan untuk mengadopsinya masih rendah.Beberapa faktor utama yang menghambat antara lain:Rendahnya literasi digital di kalangan pengelola biro;Kurangnya dukungan infrastruktur teknologi di daerah;Keterbatasan tenaga ahli keuangan syariah digital; dan Belum adanya integrasi sistem antara lembaga keuangan dan biro perjalanan. Situasi ini menimbulkan kesenjangan yang cukup lebar antara potensi dan kenyataan. Sementara masyarakat—terutama generasi muda—semakin terbiasa dengan transaksi digital, sebagian biro Haji dan Umrah masih beroperasi secara manual, bahkan mencatat secara konvensional di buku besar. Tanpa intervensi kebijakan dan peningkatan kapasitas, sektor ini berisiko tertinggal jauh dari arus modernisasi.
Transformasi yang Inklusif dan Sharia-Compliant
Meskipun pemerintah melalui beberapa istitusi seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS), telah berupaya mendorong literasi keuangan syariah melalui berbagai program. Namun, perlu langkah yang lebih konkret untuk memastikan transformasi ini benar-benar inklusif dan sesuai prinsip syariah.
Pertama, dibutuhkan standarisasi sistem digital syariah yang terintegrasi dengan kebutuhan industri perjalanan ibadah. Hal ini mencakup panduan penggunaan platform halal, keamanan data, serta audit syariah yang transparan. Kedua, perlu dibentuk pusat pelatihan literasi digital syariah yang secara khusus membekali biro dengan keterampilan mengelola keuangan secara modern dan sesuai prinsip syariah. Ketiga, kolaborasi antara bank syariah, fintech halal, dan lembaga pendidikan dapat menjadi katalis penting untuk mempercepat adopsi layanan digital yang aman dan beretika.
Menjaga Kepercayaan Jamaah di Era Digital
Biro Haji dan Umrah bukan hanya entitas bisnis, melainkan lembaga kepercayaan. Setiap rupiah yang mereka kelola adalah amanah. Oleh karena itu, penggunaan layanan digital harus memperkuat, bukan menggantikan, nilai-nilai kejujuran dan tanggung jawab moral yang menjadi dasar operasional mereka. Dalam konteks ini, digitalisasi keuangan syariah justru menjadi peluang emas untuk meningkatkan kepercayaan jamaah melalui sistem yang transparan, efisien, dan sesuai syariat. Dengan pelaporan digital yang real-time, jamaah dapat memantau langsung transaksi, pembelian tiket, hingga pengelolaan dana talangan.
 Prinsip transparency by design ini dapat menjadi fondasi baru dalam tata kelola lembaga keagamaan yang akuntabel dan profesional.
Transformasi digital keuangan syariah adalah keniscayaan. Tetapi lebih dari itu, ia merupakan jalan menuju penguatan amanah publik. Biro Haji dan Umrah perlu menatap masa depan dengan kesadaran baru: bahwa digitalisasi bukan sekadar adopsi teknologi, melainkan bagian dari ibadah—sebuah ikhtiar menjaga kepercayaan umat dengan cara yang modern, efisien, dan berintegritas. Jika langkah ini dijalankan dengan kesungguhan dan nilai-nilai syariah yang konsisten, maka Indonesia tak hanya akan menjadi negara dengan umat Muslim terbesar, tetapi juga pusat inovasi keuangan syariah digital dunia.
(prmtillahii/Bernas)
*) Biodata Penulis :
 Nama : Verni Juita
 Profesi : Dosen FEB Universitas Andalas
 E-mail : vjuita@eb.unand.ac.id
 
  
  
 


