ArtikelArtikel/OpiniRagam

Fenomena Shopaholic : Masyarakat Konsumsi menurut Baudrillard

BeritaNasional.ID, Laju perkembangan teknologi informasi semakin masif dewasa ini serta nyaris melahirkan ihwal baru. Aktivitas konsumerisme atau belanja pun telah beralih pada sektor artifisial daripada dunia nyata. Dunia posmodernisme menurut Baudrillard ditandai dengan masyarakat tidak lagi mengkonsumsi barang secara nilai guna, namun masyarakat era saat ini lebih mengkonsumsi makna dari barang tersebut. Makna direproduksi atas dasar keinginan manusia yang tidak ada habisnya, bukan lagi atas kebutuhan lahiriah dari manusia itu sendiri.

Hadirnya berbagai macam platform online shop menjadi salah satu ciri masyarakat konsumer menurut Baudrillard. Kemudahan yang disediakan oleh online shop menambah gairah masyarakat untuk terus berbelanjan agar tidak ketinggalan mode yang sedang hype. Masyarakat hanya perlu untuk melihat model yang tertera di layar dan meninjau review sebagai pertimbangan kualitas barang. Sedangkan untuk menarik perhatian konsumen, produsen menggunakan jasa endorse kepada influencer untuk melanggengkan makna yang ada pada komoditas tersebut. Tren shopaholic juga semakinn merebak dengan adanya sistem Cash On Delivery (COD) yang memungkinkan pembeli untuk bisa membayar setelah menerima barang. Kemudahan ini akan semakin meningkatkan gairah masyarakat konsumer.

Berbagai macam tren fashion, lifestyle, dan potret kehidupan influencer yang ditonjolkan dari berbagai macam media menjadi salah satu penyebab dari fenomena shopaholic. Orang menjadi lebih senang untuk berbelanja untuk mengkonsumsi makna yang didapatkan dari hasil komoditas yang dibeli. Keadaan seperti ini disebut baudrillard sebagai simulacra dan hiperrealitas. Simulacra menyebabkan bahwa dunia kehidupan sosial telah tersimulasi ke dalam media yang menjadi tontonan. Orang-orang terjebak dalam permainan citra yang semakin tidak berhubungan dengan realitas eksternal. Dunia nyata bukan lagi apa yang benar-benar kita jalani pada masyarakat eskternal. Media menjadi seakan lebih nyata daripada dunia nyata itu sendiri. Orang-orang lebih banyak menghabiskan hidup dan menggali maknanya dalam kehidupan sosial.

Konsekuensi dari kenyataan tersebut dewasa ini adalah dengan penjelmaan tren shopaholic, yaitu berbelanja berlebihan yang tidak sesuai dengan kebutuhan. Hal ini cukup disoroti terjadi pada kalangan mahasiswa. Munculnya berbagai trendsetter yang begitu cepat berganti melalui simulacra media menyebabkan semakin tingginya keinginan mahasiswa untuk membeli komoditas yang ditujukan untuk mengkonsumsi makna dari barang tersebut. Gaya hidup shopaholic selalu memperhatikan performa yang ditujukan untuk permainan citra dengan mengkonsumsi barang branded,  fashionable agar tetap kelihatan nyentrik  dan memiliki daya tarik. Contohnya penggunaan telepon seluler sekarang tidak lagi mementingkan kegunaan untuk berkomunikasi. Masyarakat konsumer menjadikan komoditas sebagai cara untuk memperlihatkan citra dan identitas dengan bertingkah laku dan memperlihatkan standar society yang dimilikinya.

Permainan citra yang terjadi pada masyarakat juga dipengaruhi oleh tayangan media seperti televise dan media sosial dalam memperlihatkan citra seorang influencer. Tayangan media telah menjadi realitas yang lebih nyata daripada realitas itu sendiri. Banyak influencer yang gemar untuk mengoleksi berbagai macam tas, sepatu, pakaian, ataupun perhiasan mewah untuk membeli makna yang didapatkan dari barang tersebut. Barang yang dikonsumsi dalam simulacra media sosial, maka itu dijadikan sebagai sebuah wujud eksistensi diri dan pemberian makna atas keberadaan pada kelas sosial yang seperti apa. Apa yang terjadi didalam media menjadi cerminan realitas, bukan realitas lah yang menjadi cerminan dari media itu sendiri. kondisi seperti ini mengakibatkan media terlihat lebih nyata daripada realitas. Maka dari itu, orang berlomba-lomba untuk berbelanja demi memenuhi kebutuhan konsumsi makna.

Uniknya menurut hiperreliatas dari Baudrillard, konsumsi tersebut dilakukan lebih banyak untuk disimulasikan kedalam media sosial terutama instagram. Individu cenderung memperlihatkan permainan citra melalui barang apa yang dikonsumsi dan pemaknaan atas barang itu sendiri. Walaupun membutuhkan modal yang tidak sedikit, shopaholic juga digandrungi oleh seluruh lapisan masyarakat. Mereka sengaja untuk mengakumulasi modal yang dipunyai dengan berbagai macam sarana untuk dapat mengkonsumsi makna. Kondisi ini menyebabkan gaya hidup merupakan kebutuhan memproyeksikan citra dirinya. Citra membentuk makna dalam berinteraksi yang selalu diinginkan oleh masyarakat konsumer. (Ay/BERNAS)

 

Biodata Penulis :
Nama : Indah Sari Rahmaini
Profesi : Dosen Sosiologi Universitas Andalas
E-mail : indah.rahmaini96@gmail.com

Lihat Selengkapnya

Related Articles

Back to top button