Artikel/OpiniRagam

Hari Pahlawan : Berjuang Merebut Kembali Otoritas Rakyat

Oleh : Indah Sari Rahmaini *)

BeritaNasional.ID — Dewasa ini kita hadir dalam arus politik yang melanggengkan citra kemapanan sang penguasa. Dibalik janji klise, oligarki membentengi diri dengan atribut serta kemewahan yang tidak lain merupakan inventaris rakyat. Ia memakai kesejahteraan sebagai promotor untuk merebut apresiasi rakyat. Aktivitas oligarki pada kanal sosial media dijadikan doxa untuk mendatangkan simpati dalam memberikan uluran tangan kepada rakyat. Kita hidup di mana ketika pengetahuan dan peradaban bergerak maju sedangkan moral dan kepercayaan menyulut mundur.Pertolongan dan jalan-jalan kemanusiaan diusik dengan glamour kekuasaan dan kepentingan.

Dunia sudah tidak mampu untuk menerbangkan tinggi mimpi karena sudah mati oleh eksistensi. LSM dan aktivis-aktivis baru berdatangan menyuarakan keadilan namun dibungkus kepentingan. Reformasi mendatangkan angin segar bagi demokrasi. Namun, reformasi telah bobrok dan dikapitalisasi oleh elit dan pemiliki modal. Isu kemiskinan, kesenjangan sosial, dan ketimpangan menjadi alat penguasa untuk memasarkan produknya meraih donatur dan mengakumulasi profit.

Terlalu sinis dan pesimis jika kita mengkonklusi pemberdayaan dan perjuangan keadilan hanya pada tatanan representasi general. Ada sisi yang tidak merepresentasikan glamour kekuasaan dan anti terhadap pencitraan. Mereka tetap memurnikan tujuan dan kemaslahatan masyarakat, tidak seperti mereka yang menjadikan janji kesejahteraan sebagai kendaraan kepentingannya.

Mereka adalah sosok kepahlawanan yang mendesak harus hadir Namanya tidak tinggi melangit, tapi jasanya mendalam hingga ke bumi. Ada Tri Mumpuni yang telah menjadi penyelamat ekologi di komunitas masyarakat desa. Ia menjajaki 61 desa yang gelap gulita menjadi terang benderang berbekal pengetahuan akan potensialnya air sebagai turbin pembangkit listrik selama 20 tahun. Tri mumpuni menolak alokasi APBD untuk pengembangan pembangkit listrik.

Pembangkit listrik yang hanya dianggap sebagai infrastruktur tidak menciptakan keberlanjutan dan modal sosial bagi masyarakat. Ada pula Haris Azhar sebagai tokoh yang memperjuangkan keadilan bagi mereka yang terhegemoni oleh penguasa. Haris tidak patah arang untuk meneruskan semangatnya membela masyarakat yang dikesampingkan oleh hukum dan politik walau sudah ditawari menjadi anggota komnas HAM berkali-kali

Eva Bande juga merupakan nama yang tidak bisa lepas memperjuangkan petani dalam pembebasan konflik agraria. Dipenjara selama 4 tahun karena membela petani di Sulawesi tengah malah tidak menyulutkan api semangatnya membela keadilan bagi petani yang tanahnya diambil oleh pemilik modal. Dalam ruang lingkup komunitas, sedulur sikep adalah komunitas yang bergerak melakukan perlawanan menyelamatkan ekologi pegunungan kendeng. Penolakan terhadap pembangunan semen kendeng dilakukan hingga menghadap ke istana walaupun tidak diacuhkan oleh pemerintah.

Bung Karno telah mengingatkan bahwa perjuangan kita lebih sulit karena harus melawan kolonialisasi dari bangsa sendiri. Dahulu, rakyat Indonesia bersatu menjadi pahlawan pergerakan untuk melawan musuh yang nyata didepan mata. Kemerdekaan melawan penjajah memang sudah usai. Namun, penjajahan yang sesungguhnya telah dimulai. Sekarang kita sudah memasuki era yang berbeda dari perjuangan kolonialisme. Merdeka dalam keadilan dan kesejahteraan belum kita capai hingga detik ini. Permasalahan di Indonesia lebih menyakitkan daripada bambu runcing dan butuh senjata khusus untuk berjuang melawan, karena ini berasal dari bangsa kita sendiri. Kita bahkan lahir dan tumbuh dalam suasana yang mendukung mereka berkuasa, dan menjarah mereka yang menderita.

Munculnya pahlawan baru dalam masyarakat menjadi jawaban atas kegelisahan yang dihadapi negara atas kuatnya liberalisasi dan hegemoni politik ekonomi. Ini adalah jawaban atas kondisi chaos atas kepercayaan yang sudah tidak tau akan disandarkan kepada siapa lagi. Ada sosok yang memiliki semangat optimisme tanpa memikirkan berapa rupiah yang mereka raih. Atas dasar kepedulian dan kemanusiaan lah yang membalut semangat mereka yang mau memperjuangkan keseimbangan ekologi pada komunitas, memperjuangkan ketidakadilan hak asasi manusia, perjuangan dalam menciptakan pemberdayaan ekonomi, dan lain sebagainya.

Seperti jeritan Tan Malaka pasca kemerdekaan, Indonesia belum menjadi merdeka 100 persen. Kemerdekaan hanya milik bangsawan yang berseru gembira menjadi borjuis. Janji kemerdekaan dan orientasi pembangunan hanyalah ekonomi deterministik. Rakyat berkali-kali dijadikan sebagai obyek. Ia menjadi isu yang sangat laku pada naskah pidato untuk menjual janji agar mampu duduk rapi di kursi dan memakai dasi.

Politik dan representasi politik tidak hanya terjadi pada ranah politik. Aktivisi, akademisi, LSM, dan berbagai macam jenis lembaga lainnya terjerat oleh tipu daya liberalisasi. Penderitaan rakyat dianggap sebagai komoditas yang bisa mendapat banyak suntikan donatur. Isu sosial seperti kemiskinan, kesenjangan, dan ketidakadilan menjadi pasar bagi mereka agar memperlancar arus profit bukan lagi berorientasi kepada solusi. Atau bagi mereka yang memang meneruskan estafet gerakan namun berlatar perjuangan sebagai sensasi, tidak menjadi esensi.

Meminjam konsep Habermas, hal ini terjadi ketika LSM dan akadmeisi sebagai pihak yang pada awalnya bisa menjadi mediator antara masyarakat dan pemerintah sebagai upaya dalam menghasilkan tindakan komunikatif malah beraliansi dengan oligarki. Rakyat tetap saja menjadi subyek yang menderita berkepanjangan.

Keseluruhan perjuangan dalam penegakan keadilan diatas merupakan persembahan untuk merebut kembali otoritas rakyat. Mereka sebagai sosok yang mengimplementasikan bagaimana rakyat benar-benar dianggap hidup dalam kedaulatan. Perlawanan dan perjuangan tidak atas eksistensial. Rakyat yang memiliki otoritas berarti rakyat yang bebas. Ia berhak mendapat pengetahuan atas pembangunan yang seharusnya memang people-oriented. Pemberdayaan haruslah menjadi dasar pembentukan jiwa-jiwa yang bebas.

Berbicara bangsa berarti menyoal perbendaharaan makna kedaulatan entitas anggota masyarakat. Pupusnya pengharapan kepada “pihak ketiga” sebagaimana yang dicita-citakan Habermas ternyata juga berkedok kepentingan. Hadirnya pahlawan-pahlawan baru yang memang “berasal” dari rakyat kembali merefleksi bahwa kepedulian dan gerakan kemanusiaan tidak serta merta didahului oleh kekuasaan dan pencitraan. Kedermawanan sosial juga muncul dari tubuh masyarakat yang mengeluh dengan ketidakadilan. Lahirnya pahlawan baru pada narasi kemasyarakatan menyiratkan kita bahwa masih ada harapan kepada moral kerakyatan. (Ay/BERNAS)

*) Biodata Penulis :
Nama : Indah Sari Rahmaini
Profesi : Dosen Sosiologi Universitas Andalas
E-mail : indah.rahmaini96@gmail.com

Lihat Selengkapnya

Related Articles

Back to top button