Pendidikan

Menjembatani Dualisme Pengelolaan Pendidikan

Oleh : Mohammad Hasyim

Memotret problem pendidikan, kita diingatkan pada fenomena gunung es, kecil di permukaan, besar dibawah. Gagalnya sejumlah siswa mengikuti ujian sekolah, banyaknya siswa didik yang putus sekolah (droup out) karena keterbatasan ekonomi orangtua adalah contoh dari sebagian kecil kasus di daerah yang terkonfirmasi, sementara sebagian besar lainya yang bisa jadi jumlah dan substansinya lebih besar belum atau tidak terekspose ke publik. Fakta ini sekaligus mengungkap betapa rentannya orang-orang miskin mendapatkan hak dasar mereka, pendidikan !

Lebih dari sekedar kasus, sejatinya problem pendidikan kita jauh lebih besar dan kompleks, membentang dari soal-soal kelembagaan hingga soal-soal tehnik pembelajaran di  level klas, dari soal-soal belum optimalnya peran serta orangtua murid hingga masih rendahnya mutu lulusan. Setiap aspek pendidikan menjadi penguat sekaligus pelemah.   Tentang kelembagaan misalnya, selama ini pengelolaan dan/atau penyelenggaraan  pendidikan ditanah air ditangani oleh dua kementrian besar, pun juga didaerah, Kementrian Pendidikan Dan Kebudayaan (Kemdikbud) dan Kementrian Agama (Kemenag). Dualisme tersebut sekaligus mendikotomi kedalam dua status sekolah, Negeri dan Swasta, otonomi dan terpusat.

Selain dua kemetrian besar tadi, beberapa kementrian lain juga mengelola dan menyelenggarakan pendidikan/sekolah kedinasan yang lebih dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan SDM di masing-masing kementrian. Seperti Sekolah Tinggi  Akuntansi Negara (STAN) di Kementrian keuangan, Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) di Kementrian Dalam Negeri, dan sebagainya. Jumlah lembaganya, baik jenjang maupun satuannya memang tidak sebanyak yang dikelola oleh Kemdikbud dan Kemenag. Bahkan untuk Kemenag masih ada tambahan satuan  pendidikan lainya, yakni pendidikan Diniyah atau Pondok Pesantren. Di dua kementrian tadi, jumlah satuan dan jenjang pendidikannya bisa mencapai ribuan, dari PAUD hingga Perguruan Tinggi (PT).

Dualisme pengelolaan pendidikan oleh kementrian yang berbeda tentu berpotensi memunculkan akibat ikutan, bisa positif, bisa negatif. Positif, jika bisa memacu kompetisi produktif diantara satuan-satuan pendidikan di dua kementrian tersebut. Sebaliknya negatif bila dualisme tersebut justru menimbulkan persaingan yang kontra produktif bahkan  destruktif, masing-masing dengan egonya saling menjauh bahkan menegasi satu terhadap lainya. Tentu keadaan seperti ini tidak kita inginkan. Tentang kompetisi itu, masing-masing telah membuktikan diri dengan prestasi yang tidak perlu diragukan lagi. Banyak tokoh  daerah bahkan nasional negeri ini lahir dari dua lembaga pendidikan tersebut. Banyaknya aturan yang terbit dari dua kementrian juga menimbulkan tumpang tindih pelaksanaan dilapangan penyebab uninfisiensi dalam banyak hal.

Dualisme penyelenggaraan pendidikan juga bisa memicu disparitas layanan diantara keduanya. Kesenjangan  keduanya dapat dengan mudah kita saksikan. Bahwa sekolah-sekolah dibawah kemdikbud yang notabene telah didesentralisasikan/diotonomikan ke pemerintah kabupaten/kota memperoleh fasilitas lebih banyak dan lebih baik. Sementara sekolah-sekolah dibawah kemenag, karena masih dikelola oleh pemerintah pusat, memperlihatkan kondisi sebaliknya. Dampak ikutannya tentu pada capaian mutu, baik proses maupun keluaran/lulusannya. Pun juga persepsi masyarakat tentang profil dan kinerja dua lembaga pendidikan tersebut, tentu akan terbelah dan cenderung tidak obyektif.

Sebenarnya dengan otonomi daerah kesenjangan keduanya sudah jauh berkurang, keduanya juga memperoleh perhatian yang nyaris setara dari pemerintah kabupaten/kota sebagai aset daerah. Keduanya juga sama-sama memperoleh dana hibah dari pemkab/kota untuk pengembangan dan investasi, misalnya. Hanya karena jumlah lembaganya, terutama swasta lebih banyak dari sekolah negeri, maka dana itu belum bisa diterima oleh semua sekolah. Disamping adanya prosedur-prosedur administrasi dan tehnik yang kadang-kadang  kurang /tidak diperhatikan oleh pihak sekolah.

Tentang pengembangan profesi guru, kegiatan peningkatan kompetensi kepala sekolah, yang bisa dengan mudah diakses oleh guru-guru dan Kepala Sekolah dilingkungan Kemdikbud, maka akses yang sama harusnya bisa dinikmati juga oleh guru-guru/kepala sekolah di Kemenag. Sekolah-sekolah di Kemdikbud kan bagian dari otonomi daerah, sementara sekolah-sekolah di Kemenag masih dikelola oleh pusat ? Soal ini coba kita kesampingkan dulu . Ibarat dua keluarga tinggal di satu rumah, hanya kamar yang memisahkannya, haruskah ada perlakuan yang berbeda untuk hal-hal yang dasar dan substantif ? Bukanlah melalui otonomi daearah pemerintah kabupaten/kota bisa mengoptimalkan dan memanfaatkan sumber daya daerah untuk memajukan pendidikan di dua lembaga itu tanpa mendikotomi antara keduanya ?

Posisi Dewan Pendidikan ?

Menyatukan dan apalagi  mengintegrasikan kelembagaan dua institusi pendidikan yang berbeda rasanya mustahil dilakukan. Karena masing-masing punya sejarah panjang dalam ikut serta mencerdaskan bangsa yang tidak begitu saja bisa diabaikan jika keduanya harus disatukan. Masing-masing punya identitas yang tidak mungkin bisa dihapus begitu saja hanya untuk alasan integrasi/penyatuan. Meski dalam beberapa karakter memperlihatkan corak yang berbeda antara sekolah-sekolah dibawah Kemdikbud dan Kemenag, sejatinya keduanya memiliki visi dan misi serta kesamaan pada banyak hal terutama pada aspek-aspek tehnik akademik.

Keduanya juga memiliki peran besar dalam memajukan daerah dengan mempersembahkan sumberdaya lulusannya dalam berbagai bidang pembangunan. Karena itu bukan hal yang mustahil  pada aspek-aspek tersebut keduanya bisa dipertemukan, didekatkan, atau saling didekatkan, maka disinilah arti pentingnya kehadiran Dewan Pendidikan (DP) kabupaten/kota. Sebagai badan independen DP bisa mengambil peran mediator, sebagai jembatan dan tali penghubung antara kedua jenis sekolah tersebut dengan pihak-pihak berpekentingan (steakholder) dalam hal ini adalah pemerintah kabupaten/kota, dinas pendidikan dan kementrian agama setempat, bahkan juga Dewan Perwakilan Daerah (DPRD). Banyak hal bisa didiskusikan oleh mereka sebagai strategi mencari solusi atas pelbagai masalah pendidikan di daerah sehingga gesekan-gesekan, kegaduhan-kegaduhan yang  acapkali mencuat saat musim Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) misalnya, dapat dihindari. Melalui forum dialogis juga masing-masing bisa saling  menguatkan, memberi masukan, memperbaiki kekurangan, menyempurnakan yang sudah sempurna, bukan adu klaim, saling curiga apalagi saling menegasi, semoga !

___________________

            Mohammad Hasyim, Pengawas Pendidikan (purna tugas), Pengurus Dewan Pendidikan Kabupaten Banyuwangi, mengajar di IAI Ibrahimy Genteng Banyuwangi

Lihat Selengkapnya

Related Articles

Back to top button