Ragam

Perempuan Dalam Penantian

Oleh: Penni Mauddina

BERITANASIONAL.ID, [SASTRA] – Dia hanya seorang perempuan, daksanya hanya dipeluk gaun panjang berwarna putih tulang dengan motif bunga bakung. Lingga tidak tahu apa yang membuat netranya terpaku, perempuan itu seolah menaburkan sihir yang membuatnya tak dapat berpaling.Sore itu senja menyapa bumi, kala matahari telah tenggelam separuh diri, Lingga memandangi siluet perempuan berselendang kuning yang berdiri menghadap laut lepas. Pendar mentari terasa menimbulkan efek magis ketika sapuan angin menerbangkan anak rambutnya yang terurai.

Menit-menit berlalu begitu saja, tapi pesona perempuan itu terlalu kuat hingga tanpa sadar menarik Lingga untuk mengikis jarak. Ah, tidak begitu dekat. Lingga memberi jarak sejauh sepuluh meter, khawatir perempuan itu merasa terganggu akan keberadaannya.

Sepanjang waktu yang berjalan, Lingga bergegas pergi saat perempuan itu hendak berbalik. Nyalinya tidak cukup besar untuk menyapa. Meski tampak anggun dalam pakaian sederhana, punggung perempuan itu tampak tidak tersentuh. Lagi, Lingga merasakan aura tak biasa darinya sehingga ia memutuskan untuk beranjak sedetik sebelum daksa perempuan itu berbalik.

***

Kini bolehkah Lingga menyebutnya sebagai takdir? Ah, tidak. Pikirnya. Siapa dia yang berani menebak opera Tuhan? Sepanjang dua puluh lima tahun hidup, Lingga tahu bahwa ada jenis ketaksaan yang dapat membuat keliru sehingga ia tidak berani menyimpulkan sesuatu yang positif. Mungkin pertemuannya dengan perempuan itu hanya bagian dari kisah yang tertulis di dalam satu halaman buku kehidupan, tidak ada episode-episode dramatis yang menarik.

Sebelumnya Lingga tidak berpikir dirinya akan dihadapkan pada situasi serupa. Hari ini perempuan itu mengenakan gaun biru dengan motif bunga krisan. Lalu sepertinya selendang telah menjadi ciri khas karena kali ini pun dia mengenakannya. Lagi-lagi perempuan itu menciptakan nuansa magis yang membuat Lingga kali ini kehilangan kewarasannya dengan mendekat tanpa memberi jarak.

“Tuan ini, apakah ingin membicarakan sesuatu?”

Lingga mengatupkan bibir dengan mata yang menunjukkan keterkejutan. Detik berikutnya perempuan itu membalik daksa, membuat Lingga dapat menatap wajahnya tanpa ragu dan dengan penuh kepuasan.

Apakah Tuhan sedang tersenyum saat menciptakannya?

“Bolehkah saya tahu siapa gerangan nama Nona berselendang ini?” Tanya Lingga.

Perempuan itu tersenyum tipis seraya menaruh tangan kanannya di depan dada. “Nama saya Renjana.”

Senyum. Hal sederhana yang mampu membuat Lingga seperti kehilangan tempatnya berpijak, bumi seolah tidak memiliki gaya gravitasi.

“Jika boleh tahu, apa yang membuat Tuan ini memantau saya sejak kemarin?”

Lingga membulatkan mata, wajahnya memerah malu seolah ia adalah tikus yang ketahuan mencuri keju milik Sang majikan. “Saya melihat perempuan berselendang yang tampak sendu menatap laut lepas, adakah hal yang mengganggunya?”

Renjana tertawa jenaka. “Saya hanya menikmati apa yang disajikan alam. Tuan ini apakah merasa terganggu melihat saya?”

“Tidak, sesungguhnya Nona Renjana terlihat indah saat berdiri di bibir pantai. Seperti lukisan yang nyata.” Jawab Lingga.

“Jika itu pujian, maka terima kasih.”

Ketika Renjana berjalan menjauhi bibir pantai, Lingga mengikuti dengan menyejajarkan langkah mereka. “Apakah Nona sangat menyukai laut?” Ia memulai percakapan kembali, mengorek sedikit informasi demi membunuh keheningan.

“Tidakkah Tuan ini lihat betapa indahnya laut?” Renjana menjawab dengan jenis pertanyaan.

Lingga tersenyum lembut, bagi Renjana pemandangan laut mungkin begitu indah, tapi bagi Lingga pemandangan Renjana yang menghadap laut tampak jauh lebih indah.

“Laut itu penuh misteri. Terkadang saya ini merasa takut dengan laut, dia menyimpan keindahan yang mengerikan. Dari pada mengagumi, saya lebih merasa segan pada pemandangan yang Nona katakan indah ini.” Lingga menyuarakan pendapat.

Lingga mengambil duduk di atas karang besar, sementara Renjana memilih berdiri dengan memeluk tubuhnya sendiri.

“Tuan ini apakah mau mendengar sebuah kisah di bibir laut?” Perempuan itu menawarkan.

Ragu Lingga ketika mengangguk, “jika Nona bersedia.”

Sebelum memulai cerita, Renjana membenarkan letak selendangnya agar dapat menghalau dingin udara senja, langit cerah mulai terkikis gelap. “Dahulu ada seorang istri saudagar kaya yang baru melahirkan bayi perempuan, suaminya menyambut dengan penuh sukacita. Di waktu yang sama ada seorang perempuan miskin melahirkan bayi perempuan juga, bedanya dia melahirkan tanpa suami, anak dari hasil hubungan gelapnya bersama laki-laki beristri yang tidak bertanggungjawab. Mendengar keluarga saudagar kaya baru saja dikaruniai seorang anak, perempuan miskin yang baru melahirkan ini menukar anaknya dengan anak saudagar kaya berkat bantuan ibunya yang merupakan seorang kepala pelayan di rumah saudagar kaya itu. Mereka berhasil, perempuan miskin itu mengajak ibunya pergi bersama bayi saudagar kaya dan membiarkan putrinya sendiri dirawat dengan baik oleh saudagar kaya itu. Menurut Tuan apakah hal itu adil?”

Lingga menggeleng, “siapa yang tahu kehidupan seperti apa yang dialami putri saudagar kaya itu? Dirawat oleh perempuan miskin tanpa suami adalah hal yang memalukan.”

Renjana tersenyum lembut, “suatu hari tersiar kabar telah terjadi pembunuhan di rumah saudagar kaya itu, semua keluarga dibantai habis, termasuk bayi yang mereka kira anak mereka.”

Alis lingga nyaris bertaut. Tidak ingin menyela tanpa menunggu. Ada alur yang tidak dapat ditebak dari cerita Renjana. Pikirnya.

“Perempuan miskin itu menangis dan meraung hampir setiap hari menyesali perbuatannya, sampai akhirnya dia memutuskan untuk mengakhiri hidup dengan menjatuhkan diri dari tebing. Berhari-hari tubuhnya terombang-ambing di atas laut.”

Lingga menatap Renjana, tampak tenggelam dengan cerita yang disajikan perempuan itu.

“Ibu dari perempuan miskin itu berduka, tapi dia tetap melanjutkan hidup dan merawat anak dari saudagar kaya karena merasa bertanggungjawab atas hidupnya. Tapi apa Tuan ini bisa menebak akhir kisah itu?” Tanya Renjana.

“Mereka hidup bahagia dan saling melindungi?” Lingga tidak memiliki ide lain selain menyimpulkan akhir yang klise.

Renjana menggeleng dengan mimik wajah sendu, menangkis dengan keras dugaan Lingga. “Ibu dari perempuan miskin itu memang bertanggung jawab dengan merawat anak dari saudagar kaya, tapi dia bukanlah orang baik. Anak saudagar kaya itu tumbuh menjadi gadis cantik yang setiap harinya menangis karena dipukuli dengan rotan. Sampai suatu hari ada seorang pemuda nelayan yang datang meminta gadis itu untuk dipinang.”

“Lalu mereka menikah?” Tebak Lingga.

“Ya, mereka menikah, gadis itu sangat mencintai suaminya karena merasa begitu disayang dan dilindungi, hal yang belum pernah ia dapatkan dari siapa pun. Tapi beberapa hari setelahnya pemuda itu pergi berlayar dan tidak pernah kembali. Meninggalkan istri yang baru dinikahinya. Tuan ini benar, laut itu penuh misteri dan menyimpan keindahan yang mengerikan.”

Lingga menatap laut yang masih tersaji di hadapannya. “Lalu bagaimana nasib gadis itu?”

Renjana lagi-lagi tersenyum lembut sambil menatap laut, “gadis itu tetap menjalani hidupnya meski diiringi duka. Dan setiap sore menjelang malam dia selalu berdiri di bibir pantai menanti kepulangan suaminya meski tahu hal itu tidak akan pernah terjadi.”

Lidah Lingga terasa kelu, jantungnya seolah berhenti berdetak. Sekeras apa pun berpikir, otaknya akan terus mengarah pada hal yang sama.

Nona Renjana ini menceritakan kisahnya sendiri.

Lalu ada apa dengan hati Lingga? Mengapa ia tak terima? Mengapa ia merasa dikhianati? Apakah ia telah jatuh hati pada Renjana?

Kali ini otak cerdas Lingga yang sering menghasilkan pundi-pundi harta dengan nominal luar biasa terasa tidak berguna. Perasaannya mengambil alih dirinya. Sibuk dengan batin yang berperang, Lingga tidak sadar bahwa keberadaan Renjana sudah belasan meter darinya meninggalkan karang tempat mereka singgah.

“Nona!”

Perempuan itu menoleh saat Lingga memanggilnya dengan suara yang keras.

“Jika diizinkan, bolehkah saya menjadi jawaban atas penantian panjang Nona bernamakan Renjana ini?”

 

Selesai

 

 

Biodata naratif:

Nama saya Penni Mauddina, saat ini tengah menempuh pendidikan di Universitas Pamulang semester 7 jurusan Sastra Indonesia. Saya tinggal di Ciseeng, Bogor. Saya memiliki hobi membaca novel dengan genre romance.

 

Lihat Selengkapnya

Related Articles

Back to top button