Politik

Pilkada Serentak 2018 Akan Dibanjiri Gugatan Ke MK

BeritaNasional.ID Jakarta – Pilkada serentak 2018 diprediksi bakal dibanjiri gugatan terkait calon yang diusungnya gagal menjadi kepala daerah. Di antara parpol yang mengajukan gugatan adalah Partai Gerindra yang berencana akan mengajukan gugatan Pilgub Jabar dan Pilgub Jateng ke Mahkamah Konstitusi (MK) usai KPU mengumumkan hasil perhitungan resmi. Gugatan akan diajukan bila selisih suara antarcalon tipis.

Direktur Eksekutif Lembaga Analisa Konstitusi dan Negara (LASINA) Tohadi mengatakan, jika paslon dalam Pilkada merasa tidak puas dan tidak menerima hasil Pilkada yang ditetapkan oleh KPU Provinsi atau KPUKab/Kota memang dapat membawa sengketa hasil Pilkada ke Pengadikan Khusus untuk Pilkada. Namun oleh karena Pengadikan Khusus untuk Pilkada belum terbentuk, maka diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

“Dalam UU Pilkada yang berlaku sekarang bahwa syarat bisa diajukannya permohonan pembatalan hasil Pilkada (sengketa hasil Pilkada) ditentukan secara limitatif dalam Pasal 158 UU 10/2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU 1/2015 UU Pilkada,” ujarnya, Jumat (29/6/2018).

Tohadi menuturkan, ada ketentuan untuk bisa mengajukan gugatan sengketa Pilkada ke MK. Yakni untuk Pilgub, Provinsi jumlah penduduknya sampai 2 juta, jika selisihnya paling banyak 2% dari suara sah. Untuk Provinsi jumlah penduduknya lebih dari 2 juta sampai 6 juta, jika selisihnya paling banyak 1,5% dari suara sah. Provinsi jumlah penduduknya lebih dari 6 juta sampai 12 juta, jika selisihnya paling banyak 1% dari suara sah dan Provinsi jumlah penduduknya lebih dari 12 juta, jika selisihnya paling banyak 0,5% dari suara sah.

Sedangkan untuk Pilbup atau walikota jumlah penduduk sampai 250 ribu, jika selisihnya paling banyak 2% dari suara sah. Kabupaten atau kota yang jumlah penduduk lebih dsari 250 – 500 ribu, jika selisihnya paling banyak 1,5% dari suara sah. Kabupaten/kota jumlah penduduk lebih dsari 500 ribu hingga 1 juta jika selisihnya paling banyak 1% dari suara sah. Kabupaten/Kota jumlah penduduk lebih dari 1 juta jika selisihnya paling banyak 0,5% dari suara sah;

Jika melihat hasil quick count selisih paslon rata-2 diatas angka 2% seperti Pilgub Jatim, Jateng, Jabar, Sumut, Maluku, Sulsel, dan Sumsel. Jika berpedoman pada ketentuan UU Pilkada maka akan sulit paslon membawa sengketa hasil Pilkada ke MK agar bisa diperiksa. Apalagi pengalaman pada Pilkada serentak sebelumnya, permohonan sengketa hasil Pilkada yang dibawa ke MK hampir seluruhnya dinyatakan tidak dapat diterima (atau istilah pengadilannya NO). Atau dengan kata lain, tidak dapat diperiksa pokok materinya;

Pada masa kepemimpinan MK dibawah Arief kemarin lebih berpatokan pada ketentuan selisih suara di atas. Jadi jika selisihnya lebih dari angka yang ditentukan dalam UU Pilkada, maka di-NO. Tidak dapat diperiksa pokok materinya. Hal ini memang berbeda dg kepemimpinan Prof. Jimly, Prof. Mahfud MD, hingga Dr. Hamdan Zoelva. Pada masa ini dilakukan terobosan hukum dengan menggunakan alat ukur apakah kecurangan dilakukan secara terstruktur, sistematis dan massif (TSM).

“Meskipun selisihnya tidak memenuhi tapi jika ada kecurangann secara TSM, maka akan diperiksa pokok materinya,” jelasnya.

Tohadi menuturkan, untuk menghadapi gugatan Pilkada serentak maka MK jangan terlalu formal legalistik. Atau terlalu kaku pada ketentuan syarat selisih suara yang ditentukan dalam UU Pilkada. Karena MK bisa melakukan terobosan hukim (law breaking) demi keadilan dan kedaultan rakyat. Karena sangat tidak adil jika ada misalnya kecurangan dengan melibatkan oknum kepolisian, atau ada oknum aparat yang menghilangkan ribuan kertas suara, tetapi selisih suara yang ditentukan UU Pilkada, maka tidak dapat diperiksa pokok perkaranya/materinya.

“MK harus melihat sisi yang lebih subtansial disamping syarat formal yaitu syarat selisih suara. Tapi MK juga tidak boleh kebablasan sehingga sengketa hasil yang masuk semuanya diperiksa pokok perkaranya meskipun tidak sesuai syarat selisih suara. MK harus hati-2 dan kritis terhadap sengketa yang diajukan,” tegasnya.

Seperti diketahui Partai Gerindra berencana akan mengajukan gugatan Pilgub Jabar danPilgub Jateng ke Mahkamah Konstitusi (MK) usai KPU mengumumkan hasil perhitungan resmi. Gugatan akan diajukan bila selisih suara antarcalon tipis.
“Kami masih mengumpulkan bukti dari seluruh saksi dan mengawalnya. Jika hasil rekapitulasinya terjadi perbedaan sangat tipis dan memungkinkan diuji, kemungkinan bisa ke MK,” ujar Wakil Ketua Umum Gerindra, Ferry Juliantono kepada wartawan, Kamis (28/6/2018).

Alasannya, kekalahan jagoan Gerindra di Jabar dan Jateng beda tipis dengan pasangan yang keluar sebagai pemenang versi quick count. Contohnya di Jabar, hasil quick count SMRC menempatkan pasangan Sudrajat-Ahmad Syaikhu di posisi kedua dengan raihan 29,58% suara. Beda tipis dengan perolehan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum sebesar 32,26%.

“Proses perhitungan manual oleh KPU Jawa Barat masih belum bisa menentukan siapa yang lebih unggul antara pasangan Ridwan Kamil dan Uu tau Sudrajat-Syaikhu, mengingat perbedaan yang sangat tipis,” ujar Ferry.

“Kenaikan tajam pasangan kami yang sangat di luar margin of error lembaga-lembaga survei menjadikan margin of error di quick count di Jabar menjadi tidak berlaku,” imbuhnya.

Kemudian hal yang sama, sebut Ferry, juga terjadi di Jateng. Misalnya, dengan data quick count SMRC, Sudirman Said-Ida Fauziyah meraup suara sebesar 41,42%. Sementara itu, Ganjar Pranowo-Taj Yasin Maimoen memeroleh kemenangan dengan suara sebanyak 58,58%.

Menurut Ferry, hasil rekapitulasi suara versi KPU bisa jadi akan lebih kecil selisihnya. “Sementara di Jawa Tengah dengan analogi yang sama, kemungkinan hasil rekapitulasi manualnya bisa lebih kecil selisihnya. Sehingga itu akan menimbulkan kesimpulan yang sangat berbeda terhadap hasil pilkada ini secara keseluruhan,” jelasnya.

“Pilkada Jabar dan Jateng adalah kemenangan perlawanan oposisi,” tutupnya. (dki1/bn.id)

Lihat Selengkapnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button