ACEHHeadline

Pembiayaan Kredit Singkong Versi BAS, Antara Janji Menggiurkan dan Jebakan

12 November 2019 merupakan hari yang bersejarah bagi para petani Singkong (Ubi Kayu) yang tergabung dalam Kelompok Tani Mekar Kembali.

Betapa tidak, para petani singkong dihari tersebut merupakan penanaman perdana Singkong binaan PTĀ  Bank Aceh Syariah (BAS) KC Kualasimpang di areal 200 Pantai Cempa Kecamatan Bandar Pusaka Kabupaten Aceh Tamiang dihadiri oleh Kepala Divisi Corporate Secretary, Muslim AR, Kepala UKM Centre, Anwar Zamzami dan staf, serta Pemimpin dan Wakil Pemimpin PT Bank Aceh Syariah Cabang Kualasimpang, Muhammad Syah berserta jajarannya dan juga dihadiri oleh Muspika Kecamatan Bandar Pusaka (bankaceh.co.id).

Penanaman perdana Singkong binaan PTĀ  Bank Aceh Syariah (BAS) KC Kualasimpang di areal 200 Pantai Cempa Kecamatan Bandar Pusaka Kabupaten Aceh Tamiang dihadiri oleh Kepala Divisi Corporate Secretary, Muslim AR, Kepala UKM Centre, Anwar Zamzami dan staf, serta Pemimpin dan Wakil Pemimpin PT Bank Aceh Syariah Cabang Kualasimpang, Muhammad Syah berserta jajarannya dan juga dihadiri oleh Muspika Kecamatan Bandar Pusaka, 12 November 2019. (Dok. bankaceh.co.id)

PT. Bank Aceh Syariah KC Kualasimpang menyalurkan pembiayaan kepada Kelompok Tani Mekar Kembali untuk penanaman Singkong seluas 40 Ha yang dipinjam pakai atas nama warga ‘Taslim’.

Singkong merupakan bahan baku industri, seperti tepung tapioka dan juga bisa digunakan sebagai pakan ternak. Sedangkan di Indonesia, singkong kebanyakan masih di impor dari luar negeri.

PT Bank Aceh Syariah terus menyalurkan pembiayaan produktif kepada masyarakat demi menggerakkan perekonomian di Aceh. Ternyata Pembiayaan Produktif tersebut hanya berdasarkan analisa dan kajian diatas meja.

Hal itu terbukti analisa dan kajian diatas meja ‘menjerat’ para ‘Petani Pemula’ terlilit utang dan menjadikan Sertifikat berharga milik petani menjadi anggunan di PT. Bank Aceh Syariah (BAS) KC Kualasimpang.

Lokasi lahan singkong di wilayah hulu Kecamatan Bandar Pusaka yang notabene masuk dalam kawasan hutan produksi (HP).

Selain itu jarak tempuh cukup jauh dengan medan jalan terjal tidak efektif dan efisien bagi petani yang rata-rata berdomisili Kecamatan Tamiang Hulu. Kondisi ini menjadi salah satu faktor petani mengalami gagal jual ubi karena tidak bisa mengeluarkan hasil panen.

Mereka (petani) juga terpaksa mandah/nginap di ladang singkong secara bergantian merawat dan menjaga dari serangan hama babi hutan dan monyet.

Sementara topografi permukaan lahan berbukit-bukit sehingga tidak semua lahan full ditanami singkong. Dari luas 40 Ha lahan yang digarap masyarakat diperkirakan hanya separuh yang ditanami singkong.

Pada tanggalĀ 1 Februari 2023,Ā  mereka (petani) yang tergabung Kelompok Tani Mekar Kembali mencari perlindungan dan mengadukan akan nasib mereka yang terjebak oleh PT. Bank Aceh Syariah (BAS) KC Kualasimpang melalui Ketua Kelompok Mekar Kembali dengan janji yang menggiurkan dan terakhir masuk dalam jebakan.

Atas dasar laporan para petani tersebut,Ā  Komisi II DPRK Aceh Tamiang yang membidangi pertanian melakukan pemanggilan seluruh pihak yang terlibat dalam kerja sama pembiayaan program tanam singkong/ubi kayu menelan biaya sebesar Rp1 miliar.

Para pihak yang dipanggil terdiri dari PT Bank Aceh Syariah (BAS) Kantor Cabang Kuala Simpang selaku (penyalur kredit), kelompok tani “Mekar Kembali” (pelaksana program) dan para petani yang menuai kerugian.

“Semua petani mengatakan tidak semua lahan 40 hektare itu ditanam singkong, karena berbukit dan ada parit,” kata anggota Komisi II DPRK Aceh Tamiang, Sarhadi dalam rapat dengar pendapat (RDP) yang digelar, Rabu (15/2/2023).

RDP petani singkong ini dipimpin Ketua Komisi II Muhammad Irwan dihadiri Wakil Ketua DPRK Muhammad Nur serta menghadirkan pimpinan Bank Aceh Cabang Kuala Simpang Muhammad Syah bersama jajaran. Kemudian ketua kelompok tani Mekar Kembali, Wagirun alias Lilik, sekretaris dan bendahara serta para petani singkong.

Sarhadi mempertanyakan sampai sejauh mana analisa dan pengawasan Bank Aceh di lapangan sampai program ini berhasil. Karena ada juga sebagian lahan yang tidak bisa ditanami. Ketika ada hamparan lahan yang kosong tentu akan mempengaruhi produksi. Ia menduga Bank Aceh hanya menerima laporan dari kelompok tani, bukan dari petugas bank.

Bank Aceh, ungkap Sarhadi sepertinya tidak mengetahui secara pasti berapa luas lahan yang digarap dan jumlah batang ubi yang ditanam per hektare.

“Kalau kata petani dalam satu hektare ada 10 ribu batang, Bank Aceh juga harus tau berapa puluh ribu batang ubi yang ditanam seluruhnya. Kalau hanya tinggal di kali per hektare itu kan ‘kerja meja’ jelas kan, berarti hasil pengawasannya saya meragukan,” ucap politisi Gerindra ini.

Sarhadi menyatakan saat ini pihak nasabah/petani singkong menanggung rugi. Sebab dari 40 hektare lahan digarap cuma keluar produksi ubi 11 ton yang bisa dijual/bawa keluar. Sementara hasil yang ditargetkan 80 ton per hektare dengan harga perkiraan Rp1.000/kg meleset. Seharusnya dari lahan 40 Ha tersebut estimasinya mampu keluar 320 ton juga diluar ekspektasi pihak bank.

“Artinya ini tidak sesuai dengan harapan. Ini kan,Ā  petani pasti tau ubi itu berat di ongkos, ditanam pula di areal 200 (hutan) sana. Saya tau lokasi itu jauh. Nah, ada egak perhitungan baik dari pihak kelompok, nasabah dan pihak bank terhadap biaya pengeluaran itu, sehingga pihak bank mau kerja sama” ujar Sarhadi.

Dijelaskannya tidak mudah mengeluarkan komoditi pertanian dari areal 200/ pedalaman Bandar Pusaka tersebut. Bahkan sekarang dia menaksir biaya jasa angkut mencapai Rp200-500/kg, seperti ongkos kelapa sawit dari kawasan itu sampai ke Pulau Tiga Rp250/kg. Apalagi dibawa ke Medan.

“Saya sebenarnya agak heran juga kepada pihak bank memberikan uang saya merasa ini jebakan ke bapak-bapak ini (petani) terus terang saja. Karena apa, karena hitungan tidak masuk akal. Terus muncul pertanyaan baru lagi sampai berapa lama program ini bisa berasil sehingga uang itu bisa dikembalikan petani,” ketus Sarhadi.

Ketua Komisi II DPRK Aceh Tamiang Muhammad Irwan meminta kepada pihak Bank Aceh dapat menunjukkan bukti alih rekening dasar hukumnya apa dan penyertaan modal yang dianggap janggal.

Kemudian pihak BAS dinilai kurang paham dengan petani intensif dengan petani pemula. Jangan samakan lahan datar dengan lahan berbukit. Seharusnya Bank Aceh ambil rekomendasi rujukannya dari BPS tentang hasil ubinan pemerintah rata-rata per satu daerah.

“Kalau cakap-cakap perkiraan target berapa ton saya pun bisa. Kemudian dipelajari transportasi, berapa lama butuh waktu angkat buah dari lokasi ke pabrik. Ini kalau saya lihat ini kurang, kurang survei kurang pengawasan,” tegas M Irwan.

Pria yang akrab disapa Wan Tanindo mengaku tidak habis pikir tanam singkong diatas gunung. Padahal lahan datar sangat mempengaruhi produksi. Kemudian dia juga menyoroti sumber bibit ubi kayu dipastikan tidak ada laporan ke Balai Benih. Padahal semua atas nama bibit itu harus dilaporkan ke Balai.

“Kelompok tani salah, dari Bank Aceh juga salah petani ubi pemula diberi modal besar-besar,” sebut Wan Tanindo.

Sementara itu pimpinan BAS Cabang Kuala Simpang Muhammad Syah menceritakan, sebenarnya waktu itu proses tanam sudah selesai tinggal panen. Kendala panen waktu itu adalah jalan rusak becek, sehingga untuk panen petani merasa agak berat. Kemudian pihak Bank Aceh berinisiatif membeli armada mobil taft badak untuk mobilisasi hasil panen keluar.

“Jadi waktu itu para petani sudah ‘angkat tangan’ untuk memanen hasilnya. Kami bilang apa pun cerita ini harus hingga kita tau berapa kira-kira yang bisa kita hasilkan. Tapi petani sudah tidak mau lagi karena harga jual yang kita harapkan Rp1.000 jadi Rp700/kg. Jadi kami sudah coba berusaha juga cari tenaga lain dari luar supaya tidak rugi kali,” ulas Muhammad Syah.

Lihat Selengkapnya

Related Articles

Back to top button