Hukum & Kriminal

Ahli Hukum: Tanpa Adanya Penetapan Hakim Maka Tuntutan JPU Menjadi Prematur

BeritaNasional.ID-Kupang,- Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Kupang kembali menggelar sidang kasus dugaan tindak pidana menghalang – halangi penyidikan dalam kasus dugaan korupsi aset daerah di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) senilai Rp. 1, 3 triliun.

Sidang kali ini, terdakwa Ali Antonius, Harum Fransiskus dan Zulkarnain Djudje menghadirkan ahli Dr. Simplexius Asa, S. H, M. H untuk didengar keterangannya. Sidang dipimpin Fransiska Paula Nino. Ketiga terdakwa didampingi kuasa hukumnya, Dr. Yanto MP. Ekon, Dr. Mel Ndaomanu, dan Jhon Rihi, S. H cs. Turut hadir JPU, Hendrik Tiip, Herry C. Franklin dan Emerensiana Jehamat.

Ahli Dr. Simplexius Asa, SH.,MH dalam persidangan menerangkan hukum pidana materil adalah hukum yang memuat perintah dan larangan disertai sanksi pidana bagi pelanggar, sedangkan hukum pidana formil mengatur bagaimana caranya menegakan hukum pidana materil.

Dijelaskan ahli, hubungan hukum pidana materil dan hukum pidana formil adalah hukum pidana materil memberikan isi atau substansi kepada hukum pidana formil sedangkan hukum pidana formil memberikan kekuatan mengikat kepada hukum pidana materil. Oleh karena itu antara hukum pidana fomil dan hukum pidana materil tidak dapat dipertentangkan antara satu dengan yang lain melainkan saling melengkapi.

Dilanjutkan ahli, Pasal 21 dan 22 Undang – Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi termasuk hukum pidana materil sedangkan hukum pidana formil yang diterapkan untuk menegakan ketentuan Pasal 21 dan 22 Undang – Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah Undang – Undang Nomor 8 tahun 1981 Tentang KUHAP kecuali ditentukan lain oleh Undang – Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sedangkan Pasal 174 KUHAP merupakan salah satu ketentuan hukum yang tidak dikecualikan dalam Undang – Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sehingga dalam penegakan hukum terhadap dugaan pelanggaran atas Pasal 22 Undang – Undang Pemberantasan Tindak Pidana khususnya dugaan pemberian keterangan yang tidak benar dalam sidang pengadilan wajib diterapkan Pasal 174 KUHAP.

“Pasal 174 KUHAP terdiri dari 4 ayat, dimana ayat (1), (2) dan (3) bersifat imperatif karena dimulai dengan kalimat “hakim memperingatkan dengan sungguh2” sedangkan ayat 4 bersifat fakultatif karena terdapat kata “jika perlu”,” kata ahli.

“Proses penegakan hukum terhadap dugaan pelanggaran pemberian keterangan tidak benar dalam sidang pengadilan, haruslah didasari penetapan hakim yang mengadili perkara itu sebagaimana ketentuan Pasal 174 KUHAP, tanpa adanya penetapan hakim maka tuntutan penuntut umum menjadi prematur,” tambah ahli.

Dilanjutkan ahli, jika membaca secara cermat Pasal 22 Jo Pasal 35 Undang – Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka menurut ahli ketentuan Pasal 22 Jo. Pasal 35 tersebut hanya bisa diterapkan kepada saksi yang tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan yang tidak benar dalam sidang pengadilan pemeriksaan pokok perkara korupsi bukan dalam pemeriksaan sidang pengadilan yang lain, setelah adanya penetapan hakim sebagaimana ketentuan Pasal 174 KUHAP.

Pasal 22 Undang – Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi termasuk delik formil artinya yang dipentingkan terpenuhinya semua unsur pidana dalam ketentuan tersebut tanpa melihat adanya akibat atau tidak, sedangkan Pasal 21 tergolong delik materil sebab terbuktinya ketentuan ini mengisyaratkan adanya akibat berupa terhalangnya penyidikan, penuntutan atau persidangan perkara itu. Bila ternyata pemeriksaan pokok perkara pidana korupsi itu berjalan lancar dan bahkan sudah selesai maka menurut ahli dapat menjadi bukti bahwa tidak terbuktinya Pasal 21 Undang – Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Menurut ahli, perbedaan keterangan saksi didalam berita acara penyidikan dengan saat disidang pengadilan haruslah ada pembanding bagi hakim untuk mengetahui perbedaan itu yakni berita Penyidikan dan berita acara yang dibuat oleh Panitera. Perbedaan keterangan saksi didalam berita acara Penyidikan dan disidang pengadilan tidak dapat secara otomatis dikategorikan sebagai keterangan tidak benar sebab solusi dari penyelesaian perbedaan keterangan saksi telah diatur dalam Pasal 163 KUHAP yang menetapkan terhadap perbedaan itu hakim memerintahkan untuk mencatat dalam berita acara Persidangan. Kemudian perbedaan keterangan itu dinilai kebenarannya oleh hakim sesuai Pasal 185 KUHAP. Perbedaan keterangan saksi di sidang pengadilan dengan keterangan saksi di berita acara Penyidikan baru dapat menjadi tindak pidana memberikan keterangan tidak benar sesuai Pasal 22 Undang – Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau Pasal 242 KUHPidana apabila adanya penetapan hakim yg mengadili perkara itu bahwa keterangan saksi diduga palsu atau tidak benar sesuai Pasal 174 KUHAP.

“Tindak pidana memberikan keterangan tidak benar oleh saksi sesuai Pasal 22 Undang – Undang Pemberantasan Tindak Pidana, bila ditemukan oleh penyidik saat dalam penyidikan misalnya seorang saksi memberikan keterangan bahwa uang yg tersimpan direkening Rp. 500 juta. padahal bukti yg dimiliki penyidik uang di rekening Rp. 5 miliar maka penyidik berwenang lakukan penyidikan. Sebaliknya jika dugaan keterangan tidak benar itu terjadi dalam sidang pengadilan khususnya dalam pemeriksaan pokok perkara korupsi maka penuntutan ke pengadilan haruslah berdasarkan penetapan hakim sesuai Pasal 174 KUHAP,” kata ahli sambil memberikan contoh.

Menurut Ahli, dugaan memberikan keterangan tidak benar di bawah sumpah di sidang praperadilan tidak dapat diterapkan Pasal 22 Undang – Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebab Pasal 22 Jo Pasal 35 Undang – Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi hanya dapat diterapkan dalam pemeriksaan saksi di sidang pengadilan dalam pokok perkara korupsi dan tidak mensyaratkan sumpah sehingga lebih tepatnya diterapkan Pasal 242 KUH Pidana tetapi harus terlebih dahulu melalui prosedur yang diatur dalam Pasal 174 KUHAP. (*)

Lihat Selengkapnya

Related Articles

Back to top button