Opini

Sengketa Nilai Pabean: Wajib Pajak Menang 62% di Pengadilan Pajak. Mengapa?

Oleh: Ari Julianto, SE., AK., MM*

Pengadilan Pajak merupakan badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak. Hal tersebut diatur dalam Pasal 2 UU Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak.

Sengketa Pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang  dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan  perundang-undangan perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan  Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

Berdasarkan Pasal 1 angka 6 UU Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak, disebutkan bahwa Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan Wajib Pajak/Penanggung Pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan banding berdasarkan Peraturan Perundang-undangan Perpajakan yang berlaku.

Sedangkan menurut Pasal 1 angka 7 UU Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, disebutkan bahwa Gugatan adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap pelaksanaan penagihan pajak atau terhadap keputusan yang dapat diajukan gugatan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

Banding dan atau gugatan dapat berupa sengketa Ditjen pajak, sengketa Ditjen bea cukai atau sengketa pajak daerah. Sengketa Ditjen bea cukai diantaranya berupa sengketa nilai pabean.

Jumlah sengketa kepabeanan dan cukai yang diajukan wajib pajak ke Pengadilan Pajak tercatat melonjak selama pandemi Covid-19. Data Pengadilan Pajak menunjukkan bahwa jumlah sengketa di Ditjen Bea Cukai sebanyak 2.803 kasus pada 2021 atau naik 53,17 persen dari sebelumnya 1.830 kasus pada 2020.

Sedangkan tingkat kemenangan sengketa nilai pabean bagi wajib pajak sekitar 62%. Mengapa Persentase Kemenangan Sengketa Nilai Pabean bagi Wajib Pajak Tinggi di Pengadilan Pajak?

Sengketa Nilai Pabean

Sengketa nilai pabean adalah sengketa pembuktian yang sebagian besar tidak dapat diselesaikan pada tingkat keberatan kemudian berlanjut di tingkat banding di pengadilan pajak.

Sengketa nilai pabean berasal dari penetapan oleh Terbanding (Ditjen Bea Cukai) yang didasarkan pada pengujian bukti nilai transaksi yang meliputi komponen pembentuk nilai transaksi seperti cost, insurance, freight dan biaya-biaya lain yang sebenarnya atau seharusnya dibayar oleh wajib pajak.

Berdasar penetapan Terbanding, wajib pajak dapat mengajukan keberatan, dan apabila ditolak oleh Terbanding, kemudian diterbitkan keputusan keberatan. Terhadap keputusan keberatan tersebut, Pemohon Banding atau wajib pajak mengajukan banding di pengadilan pajak.

Penetapan nilai pabean berdasarkan WTO Valuation Agreement telah dimasukkan didalam pasal 15 Undang-undang No. 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan pada prinsipnya adalah nilai transaksi barang yang diimpor (transaction value).

Penelitian Nilai Pabean untuk penghitungan bea masuk yang diatur pada PMK-160/KMK.04/2010 dengan uji kewajaran nilai pabean yang pada pelaksanaannya banyak menimbulkan sengketa kepabeanan karena pengujian tersebut tidaklah diatur dalam Undang-Undang Kepabeanan, dan ketentuan-ketentuan dalam Agreemet on Implementation of Article VII of GATT.

Pemeriksaan dan Pengujian Bukti

Hakim Pengadilan Pajak pada prinsipnya berpedoman sama dengan fiscus dan wajib pajak bahwa nilai pabean yang digunakan untuk menghitung besarnya bea masuk atas importasi suatu barang adalah nilai transaksi atas barang impor bersangkutan sebagaimana dinyatakan dalam pasal 15 ayat 1 Undang-Undang No 17 tentang Kepabeanan.

Oleh karena itu, pada pemeriksaan nilai pabean oleh hakim di persidangan pada umumnya lebih banyak memberi kesempatan kepada Pemohon Banding untuk membuktikan bahwa nilai pabean yang diberitahukan adalah nilai yang sebenarnya atau seharusnya dibayar kepada penjual di luar negeri.

Berdasarkan Pasal 69 ayat (1) UU nomor 14 tahun 2002 disebutkan alat bukti dapat berupa:

  1. surat atau tulisan;
  2. keterangan ahli;
  3. keterangan para saksi;
  4. pengakuan para pihak; dan/atau
  5. pengetahuan Hakim

Adapun Pasal 70 ayat (1) UU nomor 14 tahun 2002, Surat atau tulisan sebagai alat bukti terdiri dari:

  1. akta autentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat itu dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum didalamnya;
  2. akta di bawah tangan yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum didalamnya;
  3. surat keputusan atau surat ketetapan yang diterbitkan oleh Pej abat yang berwenang;
  4. surat-surat lain atau tulisan yang tidak termasuk huruf a, huruf b, dan huruf c yang ada kaitannya dengan Banding atau Gugatan.

Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan paling sedikit 2 (dua) alat bukti (Pasal 76 UU nomor 14 tahun 2002).

Bila Pemohon Banding dapat membuktikan nilai transaksi maka metode penetapan Terbanding biasanya tidak diperiksa. Bila Pemohon Banding tidak dapat membuktikan, maka hakim akan memberi putusan penetapan nilai pabean sesuai ketentuan yang berlaku.

Pada sengketa nilai pabean, pemeriksaan dokumen importasi dan pembukuan Pemohon Banding diantaranya dapat berupa PIB, invoice, freight, B/L, bukti penerimaan barang di gudang, kartu gudang, buku hutang, buku kas, buku persediaan, Telegraphic Transfer, Rekening Koran, Laporan Keuangan dan catatan pembukuan lainnya. Hal tersebut mirip dengan Desk Audit.

Pemohon Banding juga dapat menyerahkan dokumen baru saat sidang pemeriksaan dengan seizin Majelis, walaupun pada tingkat keberatan belum diserahkan sesuatu dokumen karena sesuatu hal misalnya barang impor belum dibayar sehingga belum ada bukti pelunasannya.

Majelis Hakim, Pemohon Banding, Terbanding dan Panitera menyaksikan bersama uji bukti di persidangan. Masyarakat pun dapat hadir menyaksikan jalannya persidangan yang diselenggarakan secara terbuka.

Baik Ditjen Bea Cukai maupun Wajib Pajak telah berusaha maksimal sesuai hak, kewajiban dan kewenangan masing-masing.

Tingkat kemenangan sengketa nilai pabean bagi wajib pajak sekitar 62% menunjukkan wajib pajak dapat membuktikan bahwa nilai pabean yang digunakan untuk menghitung besarnya bea masuk atas importasi suatu barang adalah nilai transaksi atas barang impor bersangkutan sebagaimana dinyatakan dalam pasal 15 ayat 1 Undang-Undang No 17 tentang Kepabeanan.

Pada akhirnya, sebagaimana Pasal 78 UU nomor 14 tahun 2002, Putusan Pengadilan Pajak telah diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim.

 

 

*Penulis : Ari Julianto, SE., AK., MM.

ASN Kemenkeu/Pemerhati Pajak

Lihat Selengkapnya

Related Articles

Back to top button